Anak-anak di Jepang kini diperingatkan soal bahaya “sextortion” (pemerasan seksual online), di mana pelaku menargetkan anak di bawah umur yang dianggap naif dan enggan menceritakan masalahnya kepada orang tua.
Kasus sextortion di Jepang terus meningkat, dengan lonjakan laporan pada musim liburan musim panas saat remaja lebih banyak menghabiskan waktu di rumah menggunakan ponsel.
Modusnya, pelaku mendekati anak secara online lalu memaksa mereka mengirim foto atau video intim. Ada juga kasus di mana korban tidak melakukan apa pun, tetapi wajah mereka dipalsukan menggunakan AI generatif lalu ditempelkan ke konten pornografi.
Banyak korban memilih diam, membuat mereka semakin terjebak dalam ancaman pelaku.
“Penting bagi orang tua membangun hubungan yang membuat anak bisa bercerita santai dan terbuka,” kata Kazuko Ito, Wakil Presiden organisasi HAM Human Rights Now, dalam konferensi pers 17 Juli.
Organisasi nonprofit di Tokyo bernama PAPS (Organization for Pornography and Sexual Exploitation Survivors) mencatat lonjakan tajam laporan sextortion. Dalam 14 minggu pertama tahun fiskal ini saja, mereka sudah menerima 1.066 konsultasi, naik pesat dari tahun-tahun sebelumnya: 131 kasus (2022), 528 (2023), dan 1.864 (2024). Bahkan, salah satu korban tercatat masih duduk di kelas 5 SD.
Aplikasi Bahasa Inggris Jadi Target
Banyak pelaku memanfaatkan aplikasi belajar bahasa Inggris, aplikasi kencan, hingga media sosial. Setelah akrab dengan korban, mereka meminta foto/video intim, lalu mengancam menyebarkannya jika korban menolak atau tidak memenuhi permintaan, seperti mengirim lebih banyak foto atau melakukan transfer uang.
Pembayaran biasanya diminta melalui e-money card (contoh: Apple Gift Card), pembayaran cashless seperti PayPay, hingga cryptocurrency.
Banyak pelaku diduga berasal dari luar negeri. Ada yang berpendapat hal ini karena AI membuat bahasa tidak lagi jadi hambatan, ada pula yang menyebut para pelaku beralih ke Jepang setelah regulasi di Amerika Serikat diperketat.
Korban Laki-Laki Mendominasi
Menariknya, 68% laporan yang diterima PAPS berasal dari korban laki-laki.
Contohnya, seorang siswa laki-laki menerima foto telanjang dari seorang wanita di Instagram, lalu diminta membalas dengan foto serupa. Saat menolak, pelaku mengirim video porno hasil rekayasa dengan wajah siswa itu yang diambil dari media sosial. Video tersebut diancam akan disebarkan ke sekolah jika siswa tidak membayar.
“Banyak laki-laki berpikir mereka tidak akan jadi korban kejahatan seksual. Itu pandangan yang salah,” kata Kazuna Kanajiri, Direktur PAPS.
Ini menunjukkan bahwa sextortion terhadap anak di Jepang semakin mengkhawatirkan dan cenderung meningkat setiap tahun, terutama karena maraknya penggunaan media sosial dan aplikasi percakapan. Kasus ini menyoroti pentingnya peran orang tua dan wali untuk membangun komunikasi yang terbuka dengan anak, agar mereka berani mencari bantuan ketika menghadapi situasi berbahaya.
Selain itu, perlu adanya langkah tegas dari pemerintah, lembaga hukum, hingga organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat perlindungan anak di ranah digital. Dengan kesadaran bersama, pendampingan keluarga, serta aturan hukum yang lebih ketat, diharapkan anak-anak dapat lebih terlindungi dari jeratan pemerasan seksual online yang merusak masa depan mereka.