Seruan untuk memperberat hukuman terhadap praktik mengemudi sambil menggunakan smartphone kembali mencuat di Jepang menyusul meningkatnya jumlah kecelakaan yang disebabkan oleh kelalaian ini.
Hukuman untuk distracted driving (mengemudi dalam keadaan terganggu) sebenarnya telah diperketat sejak Desember 2019. Data Badan Kepolisian Nasional Jepang menunjukkan, jumlah kecelakaan akibat pengemudi lalai yang mengakibatkan kematian atau luka berat sempat turun dari 105 kasus pada 2019 menjadi 66 kasus pada 2020. Namun angka itu kembali melonjak menjadi 122 kasus pada 2023, bahkan melampaui level sebelum hukuman diperberat, lalu naik lagi menjadi 136 kasus pada 2024. Meningkatnya kemudahan penggunaan aplikasi smartphone diyakini menjadi salah satu faktor penyebab.
Statistik juga menunjukkan, risiko kecelakaan fatal sekitar 3,7 kali lebih tinggi ketika pengemudi menggunakan ponsel dibandingkan saat tidak menggunakannya.
Pada 2024, panel ahli yang dibentuk oleh Kementerian Kehakiman membahas kemungkinan memasukkan distracted driving ke dalam kategori tindak pidana “mengemudi berbahaya yang menyebabkan kematian atau cedera,” yang biasanya diterapkan pada kasus mengemudi ugal-ugalan, ngebut hingga sulit dikendalikan, atau mengemudi di bawah pengaruh alkohol maupun narkoba. Panel menilai bahwa penggunaan smartphone saat berkendara memiliki tingkat bahaya dan niat buruk yang sebanding dengan tindakan tersebut.
Namun, mereka juga menyoroti bahwa tidak semua kasus distracted driving bisa langsung dikategorikan sebagai perbuatan berbahaya, misalnya saat pengemudi mengecek informasi darurat terkait bencana. Panel menyebut ada kesulitan dalam membedakan perbuatan yang benar-benar bermotif jahat, serta tantangan dalam pembuktiannya di pengadilan. Karena itu, keputusan akhir mengenai klasifikasi hukum ini ditunda.
Kasus tragis terjadi di Kota Yasu, Prefektur Shiga, ketika seorang anak laki-laki kelas dua SD ditabrak truk yang menerobos lampu merah. Sopir truk tersebut diketahui sedang melakukan panggilan telepon selama 20 menit sebelum kecelakaan. Ia akhirnya dijatuhi hukuman dua tahun empat bulan penjara atas tuduhan mengemudi lalai yang menyebabkan cedera.
Ibu korban menyuarakan kekecewaannya, “Ada perbedaan antara kecelakaan yang terjadi meski sudah berhati-hati dengan kecelakaan yang disebabkan penggunaan ponsel secara sengaja.” Ia menekankan bahwa riwayat penggunaan smartphone seharusnya bisa menjadi bukti untuk membedakan antara kelalaian biasa dengan mengemudi berbahaya. “Jika langkah untuk memperketat hukuman tidak segera dilakukan, kecelakaan seperti yang menimpa anak saya akan terus dianggap sebagai ‘kelalaian’ dan tidak akan pernah hilang,” ujarnya.
Sc : mainichi







