Dalam budaya Jepang, ada dua konsep penting yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari maupun karya sastra klasik: giri (義理) dan ninjō (人情). Keduanya seolah menjadi dua sisi mata uang yang saling bertentangan, namun justru membentuk harmoni dalam masyarakat Jepang.
Apa Itu Giri?
Giri bisa diterjemahkan sebagai kewajiban moral atau sosial. Dalam masyarakat Jepang tradisional, giri muncul dari rasa hutang budi, hubungan hierarkis, dan norma sosial. Misalnya:
-
Membalas kebaikan seseorang dengan hadiah atau bantuan.
-
Menjaga nama baik keluarga dan kelompok.
-
Memenuhi kewajiban dalam pekerjaan atau hubungan sosial.
Contoh paling nyata adalah Valentine dan White Day di Jepang: ketika perempuan memberikan cokelat di Valentine, pria yang menerimanya punya giri untuk membalas dengan hadiah di White Day.
Bagi orang Jepang, giri bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab sosial yang menjaga keharmonisan hubungan.
Apa Itu Ninjō?
Sebaliknya, ninjō berarti perasaan manusiawi, emosi, atau keinginan pribadi. Ini mencakup hal-hal seperti cinta, kasih sayang, belas kasihan, bahkan nafsu.
Dalam drama tradisional Jepang seperti kabuki atau bunraku, konflik antara giri dan ninjō sering menjadi tema utama: seorang tokoh ingin mengikuti hatinya (ninjō), tetapi terikat oleh kewajiban sosial (giri).
Contoh sederhana dalam kehidupan modern:
-
Seorang karyawan ingin cuti untuk menghadiri konser favoritnya (ninjō), tetapi merasa tidak enak meninggalkan rekan kerja yang sedang sibuk (giri).
-
Seseorang jatuh cinta pada orang yang tidak direstui keluarga (ninjō), namun harus menuruti kewajiban keluarga (giri).
Konflik antara Giri dan Ninjō
Ketegangan antara giri dan ninjō inilah yang sering dianggap sebagai salah satu ciri khas budaya Jepang. Dalam sejarah, banyak cerita tragis lahir dari konflik ini, di mana seseorang harus memilih antara kewajiban sosial atau perasaan pribadinya.
Namun, justru dari konflik itulah lahir sebuah harmoni: masyarakat Jepang menghargai keseimbangan antara keduanya. Giri menjaga agar masyarakat tetap teratur, sedangkan ninjō memastikan manusia tidak kehilangan sisi emosionalnya.
Relevansi di Zaman Modern
Meski zaman berubah, konsep giri dan ninjō masih terasa di Jepang modern.
-
Dalam pekerjaan, orang tetap menjaga giri dengan bekerja keras demi tim dan perusahaan.
-
Dalam hubungan pribadi, orang mengekspresikan ninjō dengan jujur, meski sering kali harus menyesuaikan diri dengan situasi sosial.
Keduanya bukanlah sesuatu yang harus dipilih salah satu, melainkan dijalani berdampingan. Inilah yang membuat masyarakat Jepang tetap seimbang antara disiplin sosial dan perasaan pribadi.
“Giri” dan “ninjō” adalah cermin dari budaya Jepang yang kompleks. Mereka menunjukkan bahwa hidup bukan hanya soal memenuhi kewajiban, tapi juga soal memahami perasaan manusiawi. Justru dalam tarik-menarik antara keduanya, lahirlah keindahan khas budaya Jepang: harmoni antara aturan dan hati.