Hampir 30 persen pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan resmi di Jepang (common-law marriage) memilih tidak menikah karena tak ingin mengubah nama belakang mereka atau pasangan mereka — sebuah keharusan dalam hukum pernikahan Jepang saat ini. Hal ini terungkap dalam survei terbaru yang dilakukan oleh Asuniwa, sebuah LSM yang memperjuangkan opsi penggunaan nama belakang terpisah bagi pasangan menikah.
Angka tersebut bahkan lebih tinggi di kalangan anak muda: sekitar 40 persen responden berusia 20-an menyatakan alasan serupa. Dari kelompok usia ini, lebih dari 60 persen mengatakan mereka akan mempertimbangkan pernikahan resmi jika diperbolehkan mempertahankan nama keluarga masing-masing.
Saat ini, Jepang merupakan satu-satunya negara di dunia yang mewajibkan pasangan menikah untuk memiliki nama belakang yang sama, menurut Kementerian Kehakiman Jepang.
Meskipun Partai Demokrat Konstitusional Jepang (oposisi utama) mendukung diberlakukannya opsi nama belakang terpisah, sebagian besar anggota Partai Demokrat Liberal yang konservatif menentang gagasan ini, karena dinilai bertentangan dengan nilai-nilai keluarga tradisional.
Survei yang dilakukan secara daring pada bulan Maret ini melibatkan 1.600 responden berusia 20 hingga 59 tahun — terdiri dari 532 orang dalam hubungan common-law, 538 menikah secara resmi, dan 530 masih lajang. Survei ini merupakan kolaborasi antara Asuniwa dan Yuichiro Sakai, profesor asosiasi sosiologi keluarga dari Universitas Keio.
Dengan menggabungkan hasil survei dan data demografi pemerintah, diperkirakan sekitar 1,22 juta orang berusia 20 hingga 50-an di Jepang hidup dalam hubungan common-law, dan sekitar 587.000 di antaranya menyatakan bersedia menikah secara sah jika diberi opsi nama belakang terpisah.
Pasangan dalam hubungan common-law di Jepang tidak memiliki hak hukum yang sama dengan pasangan yang menikah secara resmi — termasuk hak pengurangan pajak sebagai pasangan suami istri dan hak mewarisi harta pasangan secara otomatis.
Sc : JT