Jumlah kebangkrutan perusahaan di Jepang pada paruh pertama tahun 2025 mencapai level tertinggi dalam 11 tahun terakhir, dengan lonjakan tajam terjadi pada perusahaan yang terdampak kekurangan tenaga kerja. Hal ini terungkap dalam survei terbaru yang dirilis oleh lembaga riset kredit Tokyo Shoko Research, Selasa (9/7).
Jumlah kebangkrutan dengan utang minimal 10 juta yen (sekitar Rp1 miliar) naik 1,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Ini menandai kenaikan untuk tahun keempat berturut-turut dan menjadi angka tertinggi sejak 2014.
Kondisi ini dipicu oleh kombinasi tekanan berat: kekurangan tenaga kerja, lonjakan harga bahan baku, dan kenaikan suku bunga yang menekan perusahaan kecil dan menengah.
Perusahaan dengan kurang dari 10 karyawan menyumbang 89,8 persen dari total kasus kebangkrutan, kesulitan mencari pekerja membuat mereka kesulitan mempertahankan operasional. Persaingan tenaga kerja juga mendorong naiknya biaya gaji.
Selain itu, berakhirnya berbagai insentif dan keringanan pajak yang diberlakukan sejak pandemi COVID-19 turut memperparah tekanan terhadap bisnis kecil.
Sebanyak 172 perusahaan menyatakan bahwa permasalahan ketenagakerjaan—seperti kesulitan merekrut atau tingginya angka pengunduran diri—menjadi penyebab utama kebangkrutan. Angka ini menjadi yang tertinggi untuk periode enam bulan pertama sejak pencatatan dimulai, meningkat dari 146 kasus pada tahun sebelumnya.
Sc : KN