Menu

Dark Mode
50 Kosakata Jepang tentang Kecantikan & Skincare ✨ Cocok Buat Pecinta J-Beauty! Kingdom Anime Musim Keenam Siap Tayang 4 Oktober, Perkenalkan Visual Baru dan Pemeran Baru Pria Korea Selatan Ditangkap di Tokyo karena Diduga Rekam Ilegal Film “Demon Slayer” di Bioskop Populasi Rusa Nara Park Capai Rekor Tertinggi Sejak 1953, Kenaikan Fawns Didorong oleh Wisatawan Asing Itai’, ‘Kowai’, dan Ekspresi Rasa Sakit atau Takut di Jepang ELLEGARDEN Rilis Video Musik “Carmine” untuk Lagu Pembuka Anime One Piece

Culture

💼 Kenapa Banyak Orang Jepang Menjadi ‘Salaryman’ Seumur Hidup?

badge-check


					💼 Kenapa Banyak Orang Jepang Menjadi ‘Salaryman’ Seumur Hidup? Perbesar

Dalam budaya kerja Jepang, istilah “salaryman” mengacu pada pria pekerja kantoran yang bekerja penuh waktu di sebuah perusahaan. Tapi bukan cuma soal pekerjaan — menjadi salaryman di Jepang sering kali berarti mengabdikan diri seumur hidup untuk satu perusahaan. Kenapa bisa begitu?


🏢 1. Sistem “Shūshin Koyō” – Pekerjaan Seumur Hidup

Salah satu akar budaya salaryman berasal dari sistem shūshin koyō (終身雇用) atau lifetime employment. Sistem ini mulai populer setelah Perang Dunia II, di mana perusahaan besar Jepang merekrut lulusan muda dan mempekerjakan mereka sampai pensiun.
Sebagai imbalannya, perusahaan memberi stabilitas, gaji bertahap naik, dan pensiun yang layak.

Prinsipnya: Loyalitas dibayar dengan jaminan hidup.


🧱 2. Budaya Loyalitas dan Senioritas

Dalam banyak perusahaan Jepang, naik jabatan bukan soal kemampuan saja, tapi masa kerja dan senioritas. Semakin lama kamu bertahan, semakin tinggi posisi dan penghormatan yang kamu dapat.

Inilah sebabnya banyak orang Jepang enggan pindah kerja — keluar dari perusahaan berarti memulai dari nol, termasuk gaji dan posisi.


🤝 3. Tekanan Sosial dan Rasa Malu

Dalam masyarakat Jepang yang menekankan keselarasan sosial, menjadi salaryman dipandang sebagai bukti keseriusan dan tanggung jawab.
Orang yang sering pindah kerja atau keluar dari sistem ini sering dianggap tidak stabil atau tidak “dewasa”. Bahkan sampai hari ini, status sebagai salaryman masih punya citra “ideal” di mata generasi tua.


📉 4. Apakah Sistem Ini Masih Relevan?

Belakangan ini, budaya ini mulai berubah. Generasi muda Jepang mulai:

  • Lebih terbuka terhadap freelance, startup, atau pekerjaan paruh waktu

  • Merasa tidak ada jaminan lagi, karena perusahaan pun sekarang bisa memecat

  • Ingin work-life balance, bukan sekadar bekerja hingga larut malam

Tapi meski begitu, banyak perusahaan besar di Jepang masih mempertahankan budaya salaryman, terutama di sektor keuangan, manufaktur, dan teknologi.

Bagi banyak orang Jepang, menjadi salaryman bukan sekadar bekerja — tapi bagian dari identitas sosial dan jaminan masa depan. Meski tren baru mulai muncul, budaya loyalitas dan stabilitas kerja masih kuat di Jepang hingga kini.

Kalau kamu kerja di Jepang, apakah kamu akan ikut jalan salaryman atau memilih jalur yang lebih bebas?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Hadaka Matsuri: Festival ‘Setengah Telanjang’ yang Jadi Tradisi Pembersihan Dosa

21 August 2025 - 19:30 WIB

Kakeibo: Seni Mencatat Keuangan yang Membuat Hidup Lebih Hemat

20 August 2025 - 09:37 WIB

Yabusame: Memanah dari Kuda sebagai Doa untuk Hasil Panen

19 August 2025 - 17:30 WIB

Satoyama: Harmoni Manusia dan Alam di Pedesaan Jepang

13 August 2025 - 09:01 WIB

Ojigi: Membungkuk yang Bukan Sekadar Salam Bagi Orang Jepang

11 August 2025 - 19:30 WIB

Trending on Culture