Menu

Dark Mode
Bahasa Jepang Saat Memesan Makanan Delivery: Dari Telepon sampai Aplikasi Kadomatsu: Hiasan Bambu Tahun Baru untuk Menyambut Dewa Keberuntungan Novel Kyōkai no Melody Karya Toshiya Miyata Diadaptasi Menjadi Anime TV Polisi Kyoto Tangkap Warga Indonesia karena Menampung 7 Overstay Jepang dan Indonesia Gelar Pertemuan untuk Bahas Pertahanan di Tokyo Bahas Kerja Sama Maritim Nintendo Buka Toko Pertama di Fukuoka Jepang, Terbesar dari Semua Lokasi Resmi

Culture

💼 Kenapa Banyak Orang Jepang Menjadi ‘Salaryman’ Seumur Hidup?

badge-check


					💼 Kenapa Banyak Orang Jepang Menjadi ‘Salaryman’ Seumur Hidup? Perbesar

Dalam budaya kerja Jepang, istilah “salaryman” mengacu pada pria pekerja kantoran yang bekerja penuh waktu di sebuah perusahaan. Tapi bukan cuma soal pekerjaan — menjadi salaryman di Jepang sering kali berarti mengabdikan diri seumur hidup untuk satu perusahaan. Kenapa bisa begitu?


🏢 1. Sistem “Shūshin Koyō” – Pekerjaan Seumur Hidup

Salah satu akar budaya salaryman berasal dari sistem shūshin koyō (終身雇用) atau lifetime employment. Sistem ini mulai populer setelah Perang Dunia II, di mana perusahaan besar Jepang merekrut lulusan muda dan mempekerjakan mereka sampai pensiun.
Sebagai imbalannya, perusahaan memberi stabilitas, gaji bertahap naik, dan pensiun yang layak.

Prinsipnya: Loyalitas dibayar dengan jaminan hidup.


🧱 2. Budaya Loyalitas dan Senioritas

Dalam banyak perusahaan Jepang, naik jabatan bukan soal kemampuan saja, tapi masa kerja dan senioritas. Semakin lama kamu bertahan, semakin tinggi posisi dan penghormatan yang kamu dapat.

Inilah sebabnya banyak orang Jepang enggan pindah kerja — keluar dari perusahaan berarti memulai dari nol, termasuk gaji dan posisi.


🤝 3. Tekanan Sosial dan Rasa Malu

Dalam masyarakat Jepang yang menekankan keselarasan sosial, menjadi salaryman dipandang sebagai bukti keseriusan dan tanggung jawab.
Orang yang sering pindah kerja atau keluar dari sistem ini sering dianggap tidak stabil atau tidak “dewasa”. Bahkan sampai hari ini, status sebagai salaryman masih punya citra “ideal” di mata generasi tua.


📉 4. Apakah Sistem Ini Masih Relevan?

Belakangan ini, budaya ini mulai berubah. Generasi muda Jepang mulai:

  • Lebih terbuka terhadap freelance, startup, atau pekerjaan paruh waktu

  • Merasa tidak ada jaminan lagi, karena perusahaan pun sekarang bisa memecat

  • Ingin work-life balance, bukan sekadar bekerja hingga larut malam

Tapi meski begitu, banyak perusahaan besar di Jepang masih mempertahankan budaya salaryman, terutama di sektor keuangan, manufaktur, dan teknologi.

Bagi banyak orang Jepang, menjadi salaryman bukan sekadar bekerja — tapi bagian dari identitas sosial dan jaminan masa depan. Meski tren baru mulai muncul, budaya loyalitas dan stabilitas kerja masih kuat di Jepang hingga kini.

Kalau kamu kerja di Jepang, apakah kamu akan ikut jalan salaryman atau memilih jalur yang lebih bebas?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Kadomatsu: Hiasan Bambu Tahun Baru untuk Menyambut Dewa Keberuntungan

15 November 2025 - 16:30 WIB

Budaya Kerja “Hansei”: Refleksi Diri Setelah Gagal

12 November 2025 - 20:00 WIB

Enam Warisan Budaya Takbenda Baru dari Jepang Direkomendasikan Masuk Daftar UNESCO

12 November 2025 - 16:10 WIB

Tradisi Otoshidama: Amplop Uang Anak-Anak Saat Tahun Baru Jepang

10 November 2025 - 17:45 WIB

Satoyama: Harmoni Manusia dan Alam di Pedesaan Jepang

10 November 2025 - 06:08 WIB

Trending on Culture