Menu

Dark Mode
Tsunami Setinggi 1 Meter Terjang Pesisir Pasifik Jepang Akibat Gempa Besar di Rusia Mikir Caption?! Cobain Ini! | 50 Ide Caption Sosmed Jepang Style: Simpel, Estetik, Bikin Baper 🌸 “Bon Odori”: Menari Bersama Arwah Leluhur dalam Irama Musim Panas Bahasa Jepang Saat Kencan: Ungkapan Manis (dan yang Harus Dihindari!) Imagawayaki: Pancake Bundar Isi Manis, Kehangatan Legendaris dari Zaman Edo Honda Bikin Motor Koraidon Asli dari Pokémon Scarlet, Siap Ditunggangi di Ajang Balap Suzuka

Culture

Mengenal Hikikomori: Fenomena Menyendiri dari Sosial di Jepang

badge-check


					Mengenal Hikikomori: Fenomena Menyendiri dari Sosial di Jepang Perbesar

Hikikomori (引きこもり) adalah istilah dalam bahasa Jepang yang menggambarkan individu yang menarik diri dari kehidupan sosial secara ekstrem dan memilih untuk mengisolasi diri di rumah, bahkan hingga bertahun-tahun. Fenomena ini tidak hanya menjadi perhatian di Jepang, tetapi juga menarik perhatian global karena dampaknya yang signifikan terhadap masyarakat.

Apa Itu Hikikomori?

Secara harfiah, hikikomori berarti “menarik diri” atau “bersembunyi.” Istilah ini digunakan untuk menggambarkan orang-orang yang menolak interaksi sosial dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di kamar. Menurut Kementerian Kesehatan Jepang, seorang individu dianggap hikikomori jika ia:

  • Menghindari kehidupan sosial atau interaksi selama lebih dari enam bulan.
  • Tidak memiliki pekerjaan atau pendidikan formal.
  • Tidak memiliki gangguan psikologis serius seperti skizofrenia sebagai penyebab utama isolasi.

Mengapa Hikikomori Terjadi?

Fenomena ini memiliki berbagai penyebab yang kompleks, antara lain:

  1. Tekanan Sosial yang Tinggi
    Jepang dikenal dengan budaya kerja keras, kompetisi akademik, dan harapan masyarakat yang tinggi. Banyak individu merasa tidak mampu memenuhi ekspektasi tersebut, yang akhirnya mendorong mereka untuk menarik diri.
  2. Keluarga yang Terlalu Protektif
    Beberapa hikikomori berasal dari keluarga yang memberikan dukungan finansial penuh tanpa meminta kontribusi dari anak mereka, sehingga menciptakan lingkungan yang “nyaman” untuk isolasi.
  3. Kemajuan Teknologi
    Teknologi modern seperti internet dan game online memfasilitasi isolasi sosial. Hikikomori sering kali menghabiskan waktu mereka di dunia maya untuk menghindari kehidupan nyata.
  4. Stigma dan Malu
    Di Jepang, berbicara tentang masalah kesehatan mental masih dianggap tabu. Banyak hikikomori merasa malu untuk mencari bantuan, yang memperburuk situasi mereka.

Dampak Hikikomori

Hikikomori tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga keluarga dan masyarakat. Dampaknya meliputi:

  • Ekonomi: Hilangnya potensi tenaga kerja dalam jumlah besar.
  • Kesehatan Mental: Depresi, kecemasan, dan rasa kesepian yang berkepanjangan.
  • Keluarga: Beban emosional dan finansial yang berat bagi anggota keluarga.

Upaya Mengatasi Hikikomori

Pemerintah Jepang dan berbagai organisasi telah berupaya menangani fenomena ini, antara lain:

  • Dukungan Komunitas: Membentuk kelompok dukungan bagi hikikomori untuk secara perlahan kembali berinteraksi dengan masyarakat.
  • Layanan Konsultasi: Menyediakan konseling bagi individu dan keluarga.
  • Hikikomori Support Centers: Tempat di mana para hikikomori bisa mendapatkan pelatihan keterampilan dan bantuan untuk kembali ke masyarakat.

Hikikomori di Luar Jepang

Meskipun fenomena ini awalnya banyak ditemukan di Jepang, kasus serupa juga ditemukan di negara lain seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, dan beberapa negara Eropa. Namun, budaya dan sistem sosial di Jepang membuat fenomena ini lebih terlihat dan terdokumentasi.

Hikikomori adalah fenomena yang mencerminkan tekanan sosial dan tantangan modern yang unik di Jepang. Dengan meningkatnya kesadaran dan upaya untuk menyediakan dukungan, diharapkan individu yang mengalami hikikomori dapat menemukan jalan untuk kembali terhubung dengan masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

“Bon Odori”: Menari Bersama Arwah Leluhur dalam Irama Musim Panas

30 July 2025 - 18:30 WIB

Kata ‘Senpai’ Lebih dari Sekadar Senior: Etika Berbahasa dalam Hierarki Jepang

29 July 2025 - 17:10 WIB

🔔 Fūrin: Lonceng Angin Musim Panas Jepang dan Suaranya yang Menenangkan

28 July 2025 - 20:00 WIB

🕊️ Senbazuru: Seribu Bangau Kertas untuk Harapan yang Tulus

26 July 2025 - 14:30 WIB

⛩️ “Jinja” vs “Otera”: Apa Bedanya Kuil Shinto dan Kuil Buddha?

25 July 2025 - 20:00 WIB

Trending on Culture