Dalam mitologi Jepang, kepercayaan terhadap roh dan kehidupan benda mati menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari budaya dan tradisi. Salah satu konsep menarik yang muncul dari kepercayaan ini adalah Tsukumogami (伝汁神), yang merujuk pada benda mati yang dipercaya memperoleh roh dan kesadaran setelah mencapai usia 100 tahun. Kisah tentang Tsukumogami tidak hanya menjadi bagian dari cerita rakyat, tetapi juga mencerminkan hubungan mendalam masyarakat Jepang dengan benda-benda di sekitar mereka.
Apa Itu Tsukumogami?
Secara harfiah, Tsukumogami berarti “dewa alat” atau “dewa benda”. Dalam kepercayaan Shinto dan tradisi animisme Jepang, setiap benda dianggap memiliki roh, tetapi Tsukumogami merujuk secara khusus pada benda-benda yang telah digunakan selama 100 tahun. Setelah mencapai usia tersebut, benda-benda ini dipercaya memperoleh jiwa dan dapat hidup layaknya makhluk hidup.
Jenis-jenis benda yang dapat menjadi Tsukumogami sangat beragam, mulai dari peralatan rumah tangga seperti teko, sandal kayu (geta), hingga senjata. Namun, benda-benda ini tidak hanya menjadi hidup; mereka juga sering digambarkan memiliki kepribadian dan emosi yang unik, tergantung pada bagaimana mereka diperlakukan oleh pemiliknya.
Asal Usul dan Peran dalam Folklor Jepang
Konsep Tsukumogami pertama kali muncul dalam teks-teks kuno seperti Tsukumogami Emaki, sebuah gulungan ilustrasi dari periode Muromachi (1336–1573). Dalam gulungan ini, Tsukumogami digambarkan sebagai makhluk lucu tetapi juga bisa menjadi ancaman, terutama jika mereka merasa diabaikan atau diperlakukan buruk oleh pemiliknya.
Cerita rakyat sering kali menggunakan Tsukumogami untuk mengajarkan nilai-nilai moral. Misalnya, jika seseorang menggunakan barang-barangnya dengan bijak dan merawatnya dengan baik, Tsukumogami akan menjadi pelindung yang setia. Sebaliknya, jika seseorang membuang atau merusak barang-barangnya tanpa rasa hormat, Tsukumogami bisa menjadi roh pendendam.
Contoh Tsukumogami dalam Cerita Rakyat
- Bakezōri Bakezōri adalah Tsukumogami dari sandal jerami (zōri). Mereka digambarkan sebagai makhluk nakal yang sering bernyanyi dan menari di malam hari, tetapi tidak berbahaya.
- Karakasa-obake Payung tua (karakasa) yang berubah menjadi Tsukumogami. Karakasa-obake biasanya digambarkan memiliki satu mata besar, lidah menjulur, dan satu kaki yang melompat-lompat. Mereka sering muncul dalam cerita sebagai makhluk jenaka.
- Morinji-no-kama Kisah tentang teko tua yang berubah menjadi Tsukumogami. Cerita ini mengajarkan pentingnya merawat benda-benda sehari-hari dengan penuh perhatian.
Filosofi di Balik Tsukumogami
Di balik cerita-cerita mistis ini, Tsukumogami mencerminkan filosofi Jepang tentang hubungan manusia dengan benda-benda mati. Konsep ini mengajarkan pentingnya menghargai barang-barang yang kita gunakan setiap hari. Ini juga sejalan dengan prinsip mottainai, yang menekankan untuk tidak membuang sesuatu yang masih memiliki nilai.
Tsukumogami dalam Budaya Modern
Hingga kini, Tsukumogami terus muncul dalam budaya populer Jepang, termasuk dalam anime, manga, dan film. Serial seperti Mononoke dan Natsume Yuujinchou sering mengangkat tema Tsukumogami sebagai bagian dari plot mereka. Selain itu, permainan video seperti Okami juga menampilkan Tsukumogami sebagai karakter mistis yang berinteraksi dengan pemain.
Tsukumogami adalah salah satu aspek unik dari mitologi Jepang yang menggabungkan elemen spiritual dan moral. Cerita-cerita tentang benda mati yang hidup ini tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga mengajarkan nilai-nilai penting tentang penghormatan, tanggung jawab, dan hubungan kita dengan dunia di sekitar kita. Dalam setiap Tsukumogami, terdapat pelajaran tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara manusia dan benda-benda yang menjadi bagian dari kehidupan kita.