Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba pada hari Rabu (14/5) berjanji akan mengambil langkah-langkah penting untuk menurunkan harga beras, yang telah naik dua kali lipat dalam setahun terakhir. Namun, ia kembali menolak permintaan dari kubu oposisi untuk menurunkan pajak konsumsi sebagai bentuk dukungan kepada rumah tangga.
Dalam debat langsung di parlemen bersama para pemimpin oposisi, Ishiba menyatakan bahwa ia berkomitmen untuk menurunkan harga beras ke bawah 4.000 yen (sekitar Rp370 ribu) per 5 kilogram dari level rata-rata saat ini 4.268 yen pada awal Mei, dan bersedia mempertaruhkan jabatannya demi mencapai target tersebut.
Kenaikan harga beras disebabkan oleh gagal panen dan meningkatnya permintaan seiring dengan lonjakan wisatawan asing yang menikmati berbagai hidangan berbahan dasar nasi di Jepang.
“Saya percaya harga beras seharusnya berada di kisaran 3.000 yen. Bertahan di angka 4.000 yen itu tidak wajar. Kami akan menurunkannya secepat mungkin,” ujar Ishiba yang kini berada di bawah tekanan untuk mengendalikan inflasi.
Ketika ditantang oleh anggota oposisi apakah ia bersedia bertanggung jawab jika gagal memenuhi janji tersebut, Ishiba menjawab, “Saya rasa memang seharusnya begitu.” Namun upaya pemerintah sejauh ini, termasuk melepaskan cadangan beras darurat, belum menunjukkan hasil signifikan.
Ishiba juga mengecam keras usulan oposisi untuk menurunkan tarif pajak konsumsi, menyebutnya sebagai “strategi populis untuk meraih suara” menjelang pemilu majelis tinggi musim panas ini.
“Kalau ingin menurunkan pajak, harus disertai rencana menyeluruh bagaimana menutup kekurangan pendapatan pajak dan menjaga sistem jaminan sosial,” tegas Ishiba. Meskipun begitu, ia tidak memaparkan kebijakan baru untuk menanggulangi dampak kenaikan harga.
Sementara itu, Ishiba belum menjelaskan langkah konkret dalam merespons kenaikan tarif impor AS oleh Presiden Donald Trump. Mantan Perdana Menteri Yoshihiko Noda dari Partai Demokrat Konstitusional Jepang mengkritik minimnya urgensi dan kesiapan pemerintah terhadap persoalan global tersebut.
Partai oposisi utama saat ini mengusulkan untuk menghapus pajak konsumsi atas bahan makanan selama satu tahun, dengan menggunakan dana pemerintah yang belum terpakai guna menutup kekurangannya. Noda sendiri pernah menjabat sebagai perdana menteri hingga Desember 2012.
Di kubu oposisi, Partai Demokrat untuk Rakyat dan Partai Inovasi Jepang juga menyerukan pemangkasan tarif pajak konsumsi, yang saat ini sebesar 8% untuk makanan dan minuman, dan 10% untuk barang dan jasa lainnya.
Menariknya, bahkan Partai Komeito, yang merupakan mitra koalisi junior dari Partai Demokrat Liberal pimpinan Ishiba, menyatakan dukungannya terhadap usulan pemotongan pajak konsumsi untuk bahan makanan.
Sc : mainichi