Jepang pada Jumat (15 Agustus) memperingati 80 tahun berakhirnya Perang Dunia II dengan upacara nasional untuk mengenang lebih dari 3 juta korban perang, di tengah kekhawatiran akan semakin pudarnya ingatan publik tentang tragedi perang serta pelajaran pahit dari era militerisme Jepang.
Perdana Menteri Shigeru Ishiba, dalam pidatonya, menyampaikan “penyesalan” atas perang yang ia sebut sebagai sebuah kesalahan — sebuah istilah yang untuk pertama kalinya muncul kembali dalam pidato perdana menteri Jepang pada peringatan 15 Agustus sejak 2013, ketika mantan PM Shinzo Abe menghindarinya. Namun, Ishiba tidak menyebut agresi Jepang di Asia atau menyampaikan permintaan maaf secara langsung.
“Kami tidak akan pernah mengulangi tragedi perang. Kami tidak akan salah jalan lagi,” ujar Ishiba. “Sekali lagi, kita harus menyimpan dalam hati penyesalan dan pelajaran dari perang itu.”
Upacara utama digelar di Budokan Hall, Tokyo, dengan dihadiri sekitar 4.500 orang, termasuk pejabat pemerintah dan keluarga korban. Pada pukul 12 siang, seluruh hadirin mengheningkan cipta, tepat pada jam ketika Kaisar Hirohito menyampaikan pidato menyerah pada 15 Agustus 1945.
Sementara itu, hanya satu blok dari lokasi upacara, puluhan politisi sayap kanan dan pendukung mereka berdoa di Kuil Yasukuni, situs yang kontroversial karena juga menghormati penjahat perang kelas-A. Ishiba tidak hadir, melainkan hanya mengirimkan persembahan simbolis. Sebaliknya, Menteri Pertanian Shinjiro Koizumi — yang dianggap calon kuat penerus Ishiba — hadir dan berdoa di sana, mengikuti tradisi ayahnya, mantan PM Junichiro Koizumi.
Kaisar Naruhito dalam sambutannya menyampaikan “penyesalan mendalam” dan harapan tulus agar perang tidak pernah terulang. Ia menekankan pentingnya mewariskan kisah perang kepada generasi muda agar mereka memahami penderitaan masa lalu dan pentingnya perdamaian. Dalam rangka peringatan 80 tahun, Naruhito telah mengunjungi lokasi-lokasi bersejarah seperti Iwo Jima, Okinawa, dan Hiroshima, serta dijadwalkan pergi ke Nagasaki pada September bersama Putri Aiko.
Upacara tersebut juga diwarnai kehadiran generasi muda. Di antaranya Ami Tashiro, siswi SMA berusia 15 tahun asal Hiroshima, yang mengatakan terinspirasi mengikuti upacara setelah membaca surat peninggalan kakek buyutnya yang gugur di Iwo Jima. Ia bahkan ingin ikut serta dalam pencarian jenazah korban perang di pulau itu.
Dengan semakin berkurangnya generasi yang mengalami perang secara langsung, Jepang kini menghadapi tantangan besar: bagaimana melanjutkan warisan sejarah perang di tengah munculnya arus revisionisme yang sempat menguat pada era Abe. Sejumlah politisi bahkan masih menolak mengakui peran militer Jepang dalam tragedi sipil besar seperti Pembantaian Nanking atau pertempuran di Okinawa.
Editorial harian Mainichi memperingatkan bahwa prinsip pasifisme Jepang selama ini lebih menekankan pada sikap menjauh dari konflik global, bukan pada upaya aktif membangun perdamaian. Surat kabar itu menyerukan agar Jepang bekerja sama dengan negara-negara tetangga Asia sebagai mitra sejajar, sembari menegaskan: “Kini saatnya menunjukkan visi menuju dunia tanpa perang, berdasarkan pelajaran dari sejarah sendiri.”
Sc : mainichi