Tiga warga Jepang-Filipina di Filipina—yang ditinggalkan setelah ayah Jepang mereka meninggal atau dipulangkan secara paksa usai Perang Dunia II—mendapat penolakan atas permohonan pengakuan kewarganegaraan Jepang dari Pengadilan Keluarga Naha.
Dalam putusan yang dijatuhkan pada Oktober, pengadilan menyatakan bahwa tidak adanya dokumen resmi yang membuktikan pernikahan orang tua mereka atau pengakuan ayah atas anak menjadi alasan utama penolakan.
Tim hukum yang mewakili ketiga pemohon telah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Fukuoka cabang Naha, dengan argumen bahwa hubungan darah antara para pemohon dan ayah Jepang mereka sudah jelas terbukti.
Sekitar 50 warga Jepang-Filipina lainnya masih berharap pengakuan kewarganegaraan Jepang, tetapi banyak yang terkendala karena dokumen pernikahan orang tua hilang akibat perang dan kekacauan setelahnya.
Menurut hukum yang berlaku saat mereka lahir, anak dari pria Jepang otomatis menjadi warga negara Jepang. Para pemohon adalah anak-anak dari laki-laki Okinawa yang pindah ke Filipina sebelum perang dan menikah dengan perempuan lokal.
Ketiganya mengajukan permohonan pada Agustus untuk membuat koseki (catatan keluarga Jepang), dengan klaim bahwa mereka telah memperoleh kewarganegaraan sejak lahir.
Setelah perang, mereka pernah bertemu kerabat Jepang yang mengakui mereka sebagai anak dari pihak ayah. Salah satu pemohon bahkan pernah bertemu langsung dengan ayahnya setelah repatriasi paksa dan diakui sebagai anak—meski tanpa bukti tertulis resmi yang tersisa.
Pemohon lain melakukan tes DNA yang menunjukkan 99,9 persen kecocokan dengan kerabat Jepang.
Pihak pengacara menilai penggunaan syarat bukti pernikahan atau pengakuan ayah untuk menolak anak yang memiliki hubungan biologis nyata bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang dijamin konstitusi.
Kasus serupa dialami oleh Jose Takei, warga Jepang-Filipina berusia 82 tahun yang bertemu kerabatnya untuk pertama kali dalam kunjungan yang dibiayai pemerintah pada Agustus. Ia juga ditolak kewarganegaraannya oleh Pengadilan Keluarga Tokyo pada September, dan kini mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tokyo.
Sc : JT







