Menu

Dark Mode
Honda Hapus Batas Usia Pensiun dan Sistem Senioritas: Fokus pada Kompetensi dan Teknologi Baru Diduga Berkelahi, Tiga Pria Warga Asing Berlumuran Darah Dilarikan ke Rumah Sakit di Saitama Panduan Mendapatkan Japan Rail Pass dengan Harga Terbaik Mayoritas Warga Jepang Sambut Positif Rekor Wisatawan Asing, Meski Overtourism Jadi Perhatian Tsukumogami: Cerita Mistis tentang Benda Mati yang Hidup di Mitologi Jepang Fuji TV Minta Maaf atas Skandal Pelecehan Seksual yang Melibatkan Presenter TV Masahiro Nakai

Culture

Perjalanan Geisha: Dari Era Edo hingga Zaman Modern

badge-check


					Perjalanan Geisha: Dari Era Edo hingga Zaman Modern Perbesar

Geisha adalah salah satu ikon budaya Jepang yang paling dikenal di dunia. Namun, sering kali geisha disalahartikan sebagai simbol eksotis tanpa memahami peran dan nilai sejati mereka dalam masyarakat Jepang. Dari awalnya sebagai penghibur laki-laki hingga menjadi penjaga seni tradisional yang penuh disiplin, perjalanan geisha mencerminkan evolusi budaya Jepang itu sendiri. Artikel ini akan mengulas sejarah panjang, peran geisha, dan transformasinya di era modern.

Awal Mula Geisha: Hiburan di Era Edo

Geisha berasal dari kata “gei” yang berarti seni dan “sha” yang berarti orang, sehingga secara harfiah berarti “seniman.” Geisha pertama kali muncul pada abad ke-17 selama periode Edo (1603-1868). Awalnya, peran ini dimainkan oleh laki-laki yang disebut “taikomochi” atau “hokan,” yang mirip dengan pelawak atau pendongeng. Tugas mereka adalah menghibur tamu dengan cerita, lelucon, dan permainan.

Namun, pada pertengahan abad ke-18, perempuan mulai mengambil alih peran ini. Dengan cepat, geisha perempuan menjadi lebih populer dibandingkan laki-laki karena kemampuan mereka dalam seni tradisional seperti tari, musik, dan percakapan. Geisha perempuan pertama, Kikuya, dikenal sebagai pelopor dalam membentuk citra geisha yang kita kenal saat ini.

Peran Geisha dalam Budaya Tradisional

Geisha bukanlah pelacur, meskipun sering disalahartikan demikian oleh pandangan Barat. Mereka adalah seniman profesional yang terlatih dalam berbagai seni tradisional Jepang, termasuk:

  • Tarian (buyō): Geisha mempelajari tarian tradisional yang elegan dan penuh makna simbolis.
  • Musik: Mereka memainkan alat musik tradisional seperti shamisen, seruling, dan drum kecil.
  • Upacara Minum Teh: Geisha terampil dalam mengadakan upacara minum teh yang penuh keindahan dan kehormatan.
  • Percakapan: Kemampuan untuk memimpin percakapan yang cerdas dan menarik adalah salah satu keahlian utama geisha.

Geisha bekerja di “okiya” (rumah geisha) dan tampil di “ochaya” (rumah teh), tempat mereka menghibur tamu dari kalangan kelas atas, seperti pejabat, pengusaha, atau bangsawan.

Pelatihan Seorang Geisha

Proses menjadi geisha sangat sulit dan penuh disiplin. Seorang calon geisha, yang disebut “shikomi,” mulai pelatihan di usia muda, biasanya sekitar 15 tahun. Setelah melalui tahap awal, mereka menjadi “maiko,” atau geisha magang. Maiko mempelajari seni, tata krama, dan cara berinteraksi dengan tamu di bawah bimbingan seorang geisha senior.

Ciri khas maiko meliputi kimono yang lebih mencolok, riasan putih tebal, dan gaya rambut tradisional yang rumit. Setelah beberapa tahun pelatihan, maiko akhirnya menjadi geisha penuh, yang ditandai dengan upacara “erikae” (mengganti kerah kimono).

Transformasi Geisha di Era Modern

Setelah Restorasi Meiji (1868), modernisasi Jepang mulai mengubah peran geisha dalam masyarakat. Dengan munculnya hiburan modern seperti bioskop dan musik pop, popularitas geisha menurun. Namun, geisha tetap bertahan dengan beradaptasi dan mempertahankan seni tradisional mereka.

Selama Perang Dunia II, banyak geisha berhenti bekerja karena kekurangan sumber daya dan larangan pemerintah terhadap hiburan. Setelah perang, beberapa geisha kembali bekerja, tetapi jumlah mereka menurun drastis. Pada era pascaperang, geisha menghadapi tantangan lain, yaitu stereotip yang keliru di mata dunia Barat, terutama setelah publikasi novel “Memoirs of a Geisha” karya Arthur Golden.

Di era modern, jumlah geisha menurun secara signifikan, tetapi komunitas geisha masih ada di distrik tradisional seperti Kyoto (Gion), Tokyo (Asakusa), dan Kanazawa. Mereka tetap menjadi penjaga seni tradisional Jepang, meskipun harus bersaing dengan dunia hiburan modern.

Stereotip dan Kesalahpahaman tentang Geisha

Salah satu kesalahpahaman terbesar adalah anggapan bahwa geisha adalah pelacur. Persepsi ini muncul karena kebingungan antara geisha dengan “oiran,” yaitu pelacur kelas atas pada zaman Edo yang juga mengenakan pakaian dan riasan mencolok. Padahal, geisha sepenuhnya berbeda dan memiliki peran sebagai seniman, bukan pekerja seks.

Geisha di Masa Depan

Meskipun tantangan terus menghampiri, geisha tetap menjadi bagian penting dari warisan budaya Jepang. Beberapa upaya pelestarian dilakukan, seperti:

  • Promosi pariwisata di distrik geisha.
  • Program pelatihan bagi generasi muda.
  • Penyesuaian dengan teknologi modern, termasuk media sosial untuk memperkenalkan seni geisha ke audiens global.

Geisha adalah cerminan dari keindahan seni dan budaya Jepang yang tak lekang oleh waktu. Dari masa kejayaan mereka di era Edo hingga peran mereka sebagai penjaga tradisi di era modern, geisha terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Dengan memahami sejarah dan peran mereka yang sesungguhnya, kita dapat lebih menghargai warisan budaya yang mereka bawa. Geisha bukan sekadar hiburan, melainkan simbol dedikasi terhadap seni dan keanggunan.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Tsukumogami: Cerita Mistis tentang Benda Mati yang Hidup di Mitologi Jepang

21 January 2025 - 16:45 WIB

Sejarah dan Transformasi Kimono: Dari Pakaian Harian hingga Simbol Budaya

21 January 2025 - 10:06 WIB

Edo Period Sustainability: Bagaimana Jepang Menjadi Negara yang Nyaris Tanpa Limbah pada Abad ke-17

18 January 2025 - 11:30 WIB

Honne dan Tatemae: Memahami Perbedaan Antara Perasaan Asli dan Sikap Sosial di Jepang

17 January 2025 - 13:30 WIB

Amaterasu dan Mitologi Shinto: Pengaruh Dewa Matahari pada Budaya Jepang

14 January 2025 - 16:30 WIB

Trending on Culture