Menu

Dark Mode
Pemerintah Jepang Pertimbangkan Pengetatan Aturan Imigrasi, Status Permanent Resident dan Visa Kerja Jadi Sorotan Ado Nyanyikan Versi Baru Lagu Pembuka Chibi Maruko-chan, Tayang Perdana 28 Desember Rekor Wisatawan Asing ke Jepang Tembus 39 Juta, Kunjungan dari Turis China Anjlok Drastis karena Ketegangan Diplomatik Pesawat Pribadi Angkut WNI Alami Gangguan Pendaratan di Bandara Hokkaido Wajib Hafal! 100 Kata Kerja Bahasa Jepang Golongan 1 Inspektur Polisi Wakayama Diseret ke Jaksa Setelah Arahkan Senjata ke Rekan Saat Bercanda

News

Saat Turis Asing Membanjiri Jepang, Warga Lokal Justru Enggan Berwisata di Negerinya Sendiri

badge-check


					Saat Turis Asing Membanjiri Jepang, Warga Lokal Justru Enggan Berwisata di Negerinya Sendiri Perbesar

Setiap bulan, Badan Pariwisata Jepang yang berada di bawah Kementerian Pertanahan, Infrastruktur, Transportasi, dan Pariwisata merilis statistik jumlah total malam menginap di hotel di Jepang, yaitu akumulasi jumlah tamu dikalikan jumlah malam menginap. Berdasarkan data publik terbaru hingga September 2025, jumlah malam menginap oleh wisatawan asing hampir selalu meningkat dibandingkan tahun 2024, kecuali pada bulan Juli, ketika takhayul yang beredar akibat sebuah manga terbitan tahun 1999 menyebabkan penurunan tidak biasa jumlah wisatawan dari Hong Kong dan Tiongkok.

Sebaliknya, tren wisatawan domestik Jepang justru menunjukkan penurunan yang konsisten. Sepanjang 2025, warga Jepang tercatat menginap lebih sedikit di hotel setiap bulannya dibandingkan tahun sebelumnya. Artinya, saat turis asing semakin banyak datang ke Jepang, orang Jepang sendiri justru semakin jarang bepergian di dalam negeri.

Alasan di balik fenomena ini sebenarnya tidak sulit dipahami. Salah satu faktor terbesar adalah lonjakan wisatawan asing yang sangat signifikan. Banyak destinasi yang digemari turis mancanegara—seperti kuil di Kyoto dan Nara, resor ski di Hokkaido, atau pusat kota Tokyo dan Osaka—juga merupakan tujuan favorit wisatawan Jepang. Namun, kepadatan yang kini terjadi jauh melampaui kondisi sebelumnya, sehingga mengurangi daya tarik tempat-tempat tersebut bagi warga lokal yang masih mengingat suasana sebelum dipenuhi turis.

Masalah ini diperparah oleh melemahnya nilai yen. Bagi wisatawan asing, Jepang terasa jauh lebih terjangkau, sehingga mereka bersedia membayar harga yang lebih tinggi untuk hotel, makanan, dan hiburan. Sebaliknya, bagi warga Jepang, biaya perjalanan menjadi semakin mahal, sementara pengalaman yang didapat justru terasa kurang nyaman akibat keramaian.

Nilai yen yang lemah juga berdampak secara tidak langsung melalui inflasi. Harga kebutuhan sehari-hari di Jepang naik secara menyeluruh, sementara sebagian besar pekerja tidak menerima kenaikan gaji yang sepadan dengan biaya hidup. Dengan pendapatan yang semakin tertekan, biaya perjalanan yang meningkat, dan kepadatan parah di destinasi wisata, banyak orang Jepang akhirnya menunda atau membatalkan rencana liburan domestik mereka.

Jika dilihat dari sudut pandang masing-masing pihak, perilaku ini sebenarnya cukup masuk akal. Jepang adalah negara yang menarik untuk dikunjungi, dan kurs yen yang lemah membuatnya semakin menggoda bagi wisatawan asing. Pelaku industri pariwisata pun pada dasarnya adalah pelaku bisnis, sehingga wajar jika mereka menyesuaikan harga dan layanan demi keuntungan yang lebih besar. Sementara itu, bagi warga Jepang, mengeluarkan biaya besar untuk liburan dalam kondisi seperti sekarang terasa bukan keputusan yang bijak bagi keuangan rumah tangga.

Namun, situasi ini berpotensi menciptakan lingkaran setan. Ketika penyedia layanan wisata semakin berfokus pada turis asing dan menaikkan harga sesuai daya beli mereka, wisatawan domestik merasa tidak tertarik dan menjauh. Melihat minimnya minat dari warga lokal, pelaku industri lalu semakin menggencarkan strategi yang menargetkan turis asing, menaikkan harga lebih tinggi lagi, dan membuat wisata domestik semakin tidak ramah bagi orang Jepang.

Akhir dari siklus ini bisa jadi adalah industri pariwisata Jepang yang sepenuhnya menyesuaikan diri dengan standar harga dan keramaian yang masih dapat diterima oleh turis asing. Namun, sebelum titik itu tercapai, harga dan kepadatan sudah lebih dulu melampaui batas kenyamanan wisatawan domestik. Bahkan ketika suatu hari Jepang menjadi terlalu mahal atau terlalu padat bagi turis asing, bisa jadi saat itu warga Jepang sudah lama kehilangan minat untuk berwisata di dalam negeri.

Secara teori, solusi yang tampak sederhana adalah mendorong wisatawan domestik untuk mengunjungi daerah-daerah yang belum terdampak pariwisata massal. Namun, menjelajahi wilayah terpencil membutuhkan waktu, biaya, dan usaha ekstra. Akibatnya, pengalaman tersebut tetap terasa lebih mahal dan kurang menyenangkan dibandingkan standar yang sebelumnya biasa dinikmati warga Jepang.

Sebagian orang mungkin berpendapat bahwa ini hanyalah mekanisme pasar bebas, di mana harga ditentukan oleh siapa yang mampu dan mau membayar. Jika turis asing bersedia membayar lebih mahal, maka merekalah yang “berhak” menikmati pengalaman tersebut, meskipun warga lokal tersisih dari destinasi di negaranya sendiri. Namun, pendekatan semacam ini juga menyimpan risiko besar.

Contohnya terlihat di kawasan Namba, Osaka, salah satu distrik wisata paling populer yang sangat bergantung pada turis asing. Ketika pemerintah Tiongkok sempat mengeluarkan imbauan agar warganya tidak bepergian ke Jepang, banyak toko yang biasanya dipenuhi wisatawan Tiongkok tampak kosong. Ketergantungan berlebihan pada turis asing membuat bisnis rentan ketika arus wisata mendadak menurun.

Bahaya terbesar dari strategi ini adalah ketika terjadi peristiwa yang mengurangi jumlah wisatawan asing—entah karena konflik politik, isu budaya, perubahan nilai tukar, atau tren global yang bergeser—pelaku industri pariwisata akan kesulitan mengisi kekosongan tersebut dengan wisatawan domestik yang sudah lama merasa terasing akibat harga tinggi dan pengalaman yang tidak lagi ramah.

Dengan ledakan pariwisata asing terbesar sepanjang sejarah Jepang yang terjadi bersamaan dengan lonjakan harga konsumen tercepat dalam beberapa dekade, tidak ada solusi mudah untuk situasi ini. Namun, harapannya adalah terciptanya keseimbangan, agar pariwisata domestik tidak sepenuhnya tergantikan oleh pariwisata asing—dan akhirnya berubah menjadi tidak ada pariwisata sama sekali.

Sc : SN24, JNTO

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Pemerintah Jepang Pertimbangkan Pengetatan Aturan Imigrasi, Status Permanent Resident dan Visa Kerja Jadi Sorotan

18 December 2025 - 14:30 WIB

Rekor Wisatawan Asing ke Jepang Tembus 39 Juta, Kunjungan dari Turis China Anjlok Drastis karena Ketegangan Diplomatik

18 December 2025 - 10:10 WIB

Pesawat Pribadi Angkut WNI Alami Gangguan Pendaratan di Bandara Hokkaido

18 December 2025 - 06:55 WIB

Inspektur Polisi Wakayama Diseret ke Jaksa Setelah Arahkan Senjata ke Rekan Saat Bercanda

17 December 2025 - 18:30 WIB

16 Warga Jepang Ditahan di Kamboja, Diduga Terlibat Kasus Penipuan Internasional

17 December 2025 - 17:30 WIB

Trending on News