Kelompok pendukung pendidikan mendesak para pendidik di Jepang untuk mengambil tindakan melawan diskriminasi terhadap anak-anak dengan latar belakang asing. Mereka memperingatkan potensi meluasnya retorika politik “Japanese First” yang digaungkan partai populis sayap kanan Sanseito ke lingkungan sekolah.
Partai tersebut belakangan ini semakin mendapat dukungan dari kalangan muda dan berhasil memenangkan beberapa kursi dalam pemilihan majelis tinggi bulan lalu. Hal ini mendorong sebuah kelompok nasional yang terdiri dari guru dan tenaga pendidik mengeluarkan pernyataan yang mengecam slogan tersebut sebagai bentuk diskriminasi, bahkan berpotensi menormalisasi retorika yang meminggirkan kelompok tertentu.
Slogan itu secara luas telah menuai kritik karena dianggap bernuansa xenofobia.
Dalam pertemuan yang digelar di Okayama awal bulan ini, kelompok pendidik itu menyerukan agar dewan-dewan pendidikan di seluruh Jepang mengambil langkah nyata untuk mencegah diskriminasi.
Kelompok ini memang aktif memberikan dukungan kepada murid maupun pelajar dengan kewarganegaraan atau akar asing, serta orang tua mereka.
Metanoia, sebuah organisasi nirlaba yang mengadakan kelas bahasa Jepang di wilayah seperti Kawaguchi, Prefektur Saitama—yang memiliki banyak penduduk asing—juga merilis pedoman tentang cara melindungi anak-anak dari diskriminasi.
Menurut Metanoia, jika seorang anak membuat komentar yang tidak sensitif, guru dan orang tua sebaiknya tidak hanya menjelaskan bahwa ucapan itu bersifat diskriminatif, tetapi juga mencatatnya untuk dijadikan bahan diskusi di kemudian hari.
Organisasi tersebut juga menyarankan pendidik agar berempati dan memberikan kata-kata penghiburan kepada anak yang menjadi korban perundungan terkait etnisitasnya.
Ketua kelompok, Atsushi Funachi, menyatakan kekhawatirannya bahwa anak-anak yang mengalami diskriminasi sejak sekolah dasar akan terus membawa luka psikologis itu hingga jenjang pendidikan berikutnya.
Bahkan sebelum pemilu, sudah muncul laporan kasus perundungan terhadap anak-anak dengan akar asing. Salah satu contohnya adalah seorang anak Kurdi yang diejek dengan kalimat “pulang saja ke negara asalmu.”
Komunitas Kurdi yang cukup besar di Kawaguchi memang beberapa kali menjadi sasaran ujaran kebencian.
“Kami berharap gagasan untuk hidup berdampingan dengan saling menghormati, meski berasal dari latar belakang berbeda, bisa semakin meluas,” ujar seorang perwakilan Metanoia.
Sc : KN







