Menu

Dark Mode
Karōshi: Fenomena Kematian karena Kerja Berlebihan di Jepang Film Kedua “Mobile Suit Gundam Hathaway: The Sorcery of Nymph Circe” Tayang Januari 2026, Bandai Namco Rilis Trailer Baru Takikomi Gohan: Nasi Campur Ala Jepang yang Lezat dan Bergizi 🏆 Frasa Jepang Saat Menyemangati Tim Olahraga Jepang Susun Strategi Nasional untuk Kembangkan AI Domestik, Kurangi Ketergantungan pada Teknologi Asing Perusahaan Jepang Gunakan Aplikasi dan Kebijakan Baru untuk Cegah Karyawan Muda Cepat Resign

News

Jepang Darurat Serangan Beruang, Jumlah Pemburu Menurun

badge-check


					Jepang Darurat Serangan Beruang, Jumlah Pemburu Menurun Perbesar

Lonjakan kasus serangan beruang di Jepang membuat pemerintah terpaksa melonggarkan aturan “penembakan darurat” di area permukiman. Langkah ini diambil di tengah kekhawatiran bahwa semakin sedikit pemburu yang memiliki keahlian cukup untuk menanggapi ancaman tanpa membahayakan warga sipil.

Sejak April tahun ini, Jepang — terutama wilayah utara seperti Hokkaido — mencatat peningkatan tajam serangan dan kerusakan akibat beruang. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup hingga Senin (tanggal laporan), enam orang telah tewas, menyamai rekor tertinggi yang sebelumnya terjadi pada tahun fiskal 2023–2024.

Dua kasus kematian terbaru masih diselidiki, namun para ahli memperkirakan angka kematian akibat serangan beruang tahun ini bisa memecahkan rekor baru. Lebih mengkhawatirkan lagi, serangan kini semakin sering terjadi di area pemukiman, bukan hanya di pegunungan.

Di Sapporo, Hokkaido, pemerintah setempat melaporkan 71 kali penampakan beruang cokelat sepanjang September — lima kali lebih banyak dibanding periode yang sama tahun lalu dan merupakan angka tertinggi dalam satu bulan selama satu dekade terakhir.

“Beruang semakin dekat dengan manusia, ke daerah tempat tinggal kita. Yang menakutkan adalah ketika mereka mulai menyerang manusia,” ujar Ryoji Suzuki (76), kepala asosiasi pemburu di Prefektur Yamanashi.

🌾 Mengapa Beruang Makin Dekat ke Pemukiman?

Para ahli menjelaskan bahwa penurunan populasi desa dan banyaknya lahan pertanian yang terbengkalai telah menghapus “zona penyangga” antara hutan dan perkampungan. Dengan ladang yang tak terurus dan kawasan pedesaan yang gelap di malam hari, beruang bisa berkeliaran tanpa gangguan.
Selain itu, perubahan iklim juga memengaruhi ketersediaan makanan alami bagi beruang.

Namun, di sisi lain, jumlah pemburu terus menurun seiring bertambahnya usia mereka.
Lisensi resmi untuk berburu menggunakan senjata api di Jepang mencapai 500.000 orang pada 1976, tapi sejak 2012 jumlahnya merosot menjadi kurang dari 100.000.

“Sekarang kita yang mengelilingi hewan, tapi nanti bisa jadi justru kita yang dikepung,” kata Suzuko Tsunoda (39), pemburu termuda di kelompoknya yang beranggotakan 35 orang.

🔫 Aturan Baru: Penembakan di Area Permukiman Kini Diizinkan

Revisi undang-undang perlindungan dan pengelolaan satwa liar yang mulai berlaku September 2025 kini memungkinkan pemerintah daerah memberi izin langsung kepada pemburu untuk menembak beruang di area berpenduduk.
Sebelumnya, tindakan semacam itu harus mendapat persetujuan polisi terlebih dahulu.

Namun kebijakan ini menuai kekhawatiran. Para pakar menilai pemburu gunung belum tentu siap mengambil keputusan cepat di lingkungan padat penduduk, di mana peluru nyasar bisa berakibat fatal.

Suzuki, yang memiliki pengalaman berburu hampir 40 tahun, menegaskan bahwa menembak beruang bukan hanya soal menarik pelatuk.

“Proses memindahkan dan menangani bangkai hewan juga butuh keahlian dan kerja sama. Itu bukan pekerjaan yang bisa dilakukan warga biasa,” ujarnya.

🧭 Solusi Lain: Edukasi dan Pendekatan Ilmiah

Profesor Shinsuke Koike dari Tokyo University of Agriculture and Technology mengatakan bahwa Jepang tidak boleh hanya bergantung pada pemburuan.
Ia menekankan pentingnya pendekatan ilmiah, seperti memantau pergerakan beruang, menganalisis penyebab kemunculan mereka, dan memberikan edukasi kepada masyarakat.

“Kalau hanya menyingkirkan bahaya di lokasi tanpa belajar dari kasus sebelumnya, serangan akan terus berulang,” tegas Koike, yang juga memimpin organisasi Japan Bear Network.

Koike juga menyoroti bahwa hanya sedikit pemerintah daerah yang memiliki sistem atau staf khusus untuk menangani penembakan darurat, dan menyarankan agar Jepang meniru Eropa dan Amerika Serikat yang mempekerjakan pemburu profesional milik pemerintah lokal.

🧳 Wisatawan Pun Jadi Korban

Tak hanya warga lokal, wisatawan asing pun ikut menjadi korban.
Awal bulan ini, seorang turis asal Spanyol terluka akibat serangan anak beruang di desa wisata warisan dunia Shirakawa-go di Prefektur Gifu.

Di sisi lain, kawasan Shiretoko di Hokkaido, yang juga berstatus Situs Warisan Alam Dunia, terpaksa menutup jalur pendakian setelah serangan beruang mematikan pada Agustus lalu.
Insiden tersebut bukan hanya menimbulkan kekhawatiran keselamatan, tapi juga mengancam sektor pariwisata alam Jepang.

Wisatawan berharap pemerintah memberi informasi lebih cepat dan jelas dalam bahasa Inggris di media sosial.

“Saya sadar risikonya, tapi yang lebih saya khawatirkan justru kalau beruang ditembak hanya karena orang takut demi keselamatan kami,” ujar Catherine Phillipson, turis asal Inggris yang berkunjung ke Shiretoko bulan lalu.

Sc ; JT

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Read More

Warga Indonesia Ditangkap di Suzuka karena Diduga Tinggal Ilegal Selama 9,5 Tahun

14 October 2025 - 13:10 WIB

Pasangan Lansia Diserang Beruang di Gunma, Polisi Imbau Warga Waspada

14 October 2025 - 11:10 WIB

World Expo Osaka 2025 Resmi Ditutup Setelah Enam Bulan, Dikunjungi Lebih dari 25 Juta Orang

14 October 2025 - 10:10 WIB

Toyota dan Sumitomo Metal Mining Kembangkan Material Katoda untuk Baterai Solid-State, Target Rilis Mobil Listrik 2027–2028

13 October 2025 - 18:30 WIB

Cedera Usai Bela Liverpool, Wataru Endo Mundur dari Timnas Jepang untuk Jeda Internasional Oktober

13 October 2025 - 16:30 WIB

Trending on News