Di balik citra Jepang sebagai negara dengan etos kerja tinggi dan produktivitas luar biasa, tersimpan sisi gelap yang sudah lama menjadi perhatian: karōshi (過労死) — istilah yang berarti kematian akibat kerja berlebihan.
Fenomena ini bukan sekadar istilah hiperbola, melainkan realitas sosial yang tragis dan diakui secara hukum oleh pemerintah Jepang sejak tahun 1980-an.
💼 Apa Itu Karōshi?
Karōshi berasal dari dua kata:
-
過労 (karō) = kelelahan karena kerja
-
死 (shi) = kematian
Secara harfiah berarti “mati karena terlalu banyak bekerja.”
Penyebabnya bisa berupa serangan jantung, stroke, atau bahkan bunuh diri yang dipicu oleh stres dan kelelahan ekstrem akibat jam kerja yang panjang dan tekanan pekerjaan tinggi.
Contohnya, banyak kasus di mana seseorang bekerja lebih dari 100 jam lembur dalam sebulan, tidur hanya beberapa jam setiap hari, dan tetap memaksakan diri untuk datang ke kantor.
Kondisi seperti ini sering kali dianggap “wajar” dalam budaya kerja Jepang yang sangat menekankan dedikasi dan loyalitas kepada perusahaan.
🕒 Akar Budaya: Antara Loyalitas dan Tekanan Sosial
Untuk memahami karōshi, kita perlu melihat budaya kerja Jepang yang terbentuk setelah Perang Dunia II.
Pada masa itu, sistem kerja Jepang mengandalkan konsep “seumur hidup bekerja di satu perusahaan” (終身雇用, shūshin koyō).
Pegawai dianggap bagian dari “keluarga besar” perusahaan, dan loyalitas dianggap sebagai kebajikan tertinggi.
Namun, nilai ini juga melahirkan tekanan besar.
Pegawai sering merasa bersalah jika pulang lebih dulu dari atasan, atau tak enak mengambil cuti panjang karena takut dianggap malas.
Lembur yang panjang bukan hanya demi uang tambahan, tapi juga demi menjaga reputasi di tempat kerja.
Selain itu, budaya gaman (我慢) — menahan diri dan tidak mengeluh — membuat banyak orang menyembunyikan kelelahan dan stres mereka.
Akibatnya, masalah kesehatan mental dan fisik sering tidak tertangani hingga terlambat.
⚖️ Upaya Pemerintah dan Perubahan Sosial
Kasus karōshi pertama kali menjadi perhatian publik pada akhir 1970-an, dan sejak itu pemerintah Jepang mulai mengambil langkah-langkah serius.
Beberapa kebijakan yang diterapkan antara lain:
-
Batas lembur resmi: maksimal 45 jam per bulan (meski sering dilanggar di lapangan).
-
“Premium Friday”: program mendorong karyawan pulang lebih awal setiap Jumat terakhir di bulan.
-
Kampanye keseimbangan kerja-hidup (Work-Life Balance).
Selain itu, muncul juga tren baru seperti freelancing, kerja hybrid, dan startup yang lebih santai, terutama di kalangan muda yang ingin lepas dari sistem kerja tradisional yang kaku.
Namun, perubahan budaya tidak bisa instan.
Masih banyak perusahaan besar yang mempertahankan sistem kerja konservatif, di mana jam lembur panjang dianggap bukti komitmen — bukan bahaya.
🕯️ Lebih dari Sekadar Statistik
Karōshi bukan hanya angka di laporan tahunan, melainkan kisah nyata tentang manusia yang kehilangan hidup karena tuntutan kerja tanpa batas.
Kasus seperti Matsuri Takahashi — karyawan muda di Dentsu yang bunuh diri karena stres akibat lembur berlebihan — mengguncang Jepang dan membuka diskusi besar tentang harga dari “kerja keras” yang berlebihan.
Di balik tragedi itu, banyak warga Jepang kini mulai menyadari pentingnya beristirahat, menikmati waktu dengan keluarga, dan menjaga kesehatan mental.
Saat Bekerja Keras Tak Lagi Mulia
Jepang dikenal karena disiplin dan dedikasinya, tetapi karōshi menjadi pengingat bahwa kerja keras tanpa batas bukanlah kebanggaan, melainkan bahaya.
Perubahan sedang berjalan pelan — dari generasi muda yang berani berkata “tidak apa-apa pulang tepat waktu” hingga perusahaan yang mulai menilai hasil kerja dari produktivitas, bukan lamanya duduk di meja kantor.
Karōshi mengajarkan bahwa hidup lebih penting daripada pekerjaan, dan bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari seberapa lama kita bekerja — melainkan seberapa bijak kita menyeimbangkan hidup.