Pengadilan Tinggi Fukuoka pada Jumat lalu menjadi pengadilan tinggi ketiga di Jepang yang menyatakan bahwa kurangnya pengakuan hukum atas pernikahan sesama jenis melanggar konstitusi. Namun, pengadilan tetap menolak tuntutan ganti rugi yang diajukan oleh para penggugat.
Dalam putusan tersebut, pengadilan untuk pertama kalinya menyatakan bahwa ketentuan hukum perdata yang tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis melanggar Pasal 13 Konstitusi, yang menjamin hak untuk mengejar kebahagiaan. Selain itu, pengadilan menilai larangan tersebut juga melanggar pasal-pasal yang menjamin persamaan di depan hukum, martabat individu, dan kesetaraan mendasar antara kedua jenis kelamin.
“Tidak ada lagi alasan untuk tidak mengakui secara hukum pernikahan antara pasangan sesama jenis,” kata Hakim Ketua Takeshi Okada.
Setelah putusan, empat penggugat berdiri di luar pengadilan sambil memegang papan bertuliskan pertanyaan mengapa parlemen Jepang belum melegalkan pernikahan sesama jenis.
Pada konferensi pers, seorang penggugat berusia 35 tahun yang menggunakan nama Kosuke memuji keputusan pengadilan terkait Pasal 13, dengan mengatakan hal itu “mengubah atmosfer masyarakat terhadap pernikahan sesama jenis.” Ia mengaku tidak bisa berhenti menangis saat hakim membacakan putusan.
Pasangannya, seorang pria berusia 37 tahun yang menyebut dirinya Masahiro, mengatakan putusan tersebut “memahami penderitaan kami, dan saya merasa sangat didukung.”
Keputusan ini berbeda dengan putusan pengadilan tingkat bawah tahun lalu, yang menyebut larangan tersebut berada dalam “keadaan inkonstitusional” — istilah yang dianggap sebagai seruan bagi Diet (parlemen Jepang) untuk memperbaiki ketidaksesuaian hukum dengan Konstitusi.
Tiga pasangan sesama jenis dari Fukuoka dan Kumamoto sebelumnya meminta ganti rugi sebesar 1 juta yen (sekitar Rp100 juta) untuk masing-masing orang. Mereka berargumen bahwa ketentuan hukum perdata yang tidak mengizinkan pernikahan sesama jenis melanggar hak atas persamaan di depan hukum dan jaminan kebebasan pernikahan dalam Konstitusi.
Penggugat mengajukan banding setelah Pengadilan Distrik Fukuoka pada Juni 2023 menolak tuntutan ganti rugi mereka dan memutuskan bahwa pemerintah tidak wajib segera membuat langkah legislatif meskipun berada dalam “keadaan inkonstitusional.”
Hukum perdata dan ketentuan pendaftaran keluarga di Jepang saat ini didasarkan pada pernikahan antara pria dan wanita. Hak istimewa yang terkait dengan pernikahan, seperti hak waris, manfaat pajak, dan hak asuh bersama anak, hanya diberikan kepada pasangan heteroseksual.
Jepang tetap menjadi satu-satunya negara di kelompok G7 yang belum melegalkan pernikahan sesama jenis atau serikat sipil, meskipun ada tekanan yang meningkat dari komunitas LGBT dan para pendukungnya.
Putusan pengadilan sebelumnya beragam dalam cakupannya. Pengadilan distrik di Sapporo dan Nagoya menyatakan bahwa kurangnya pengakuan hukum atas pernikahan sesama jenis adalah inkonstitusional, sementara Pengadilan Distrik Tokyo menyebutnya dalam “keadaan inkonstitusional.” Hingga saat ini, Pengadilan Distrik Osaka menjadi satu-satunya yang menyatakan hukum saat ini konstitusional.
Dua putusan pengadilan tinggi sebelumnya tahun ini di Sapporo dan Tokyo juga menyatakan bahwa kurangnya pengakuan hukum terhadap pernikahan sesama jenis di Jepang tidak konstitusional.
Sc : kyodo