Sekitar 80 persen guru yang mengajar di kelas bahasa Jepang yang disediakan pemerintah daerah di Jepang ternyata adalah relawan. Fakta ini terungkap dalam survei nasional yang dirilis Senin (17 Juni), dan menimbulkan kekhawatiran bahwa para pendatang asing mungkin tidak mendapatkan kualitas pengajaran yang memadai.
Padahal, menurut undang-undang, pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk menyediakan lingkungan belajar bahasa Jepang bagi warga asing, termasuk pekerja dan keluarga mereka. Namun, masih ada beberapa daerah yang belum memiliki kelas bahasa Jepang karena keterbatasan tenaga pengajar dan dana.
Kemampuan bahasa Jepang yang minim membuat warga asing sering kesulitan dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari berbelanja, berbicara dengan dokter, menerima informasi bencana, hingga memahami aturan setempat seperti cara membuang sampah.
Berdasarkan survei tahunan tersebut, pada tahun fiskal 2023 terdapat sekitar 29.000 guru di 1.548 kelas bahasa Jepang di seluruh Jepang. Dari jumlah itu, sekitar 23.000 orang adalah relawan. Angka persentase guru relawan ini sudah bertahan di kisaran 80 hingga 90 persen selama lebih dari 20 tahun.
Jumlah warga asing yang mengikuti kelas tatap muka pernah mencapai rekor hampir 100.000 orang pada tahun fiskal 2019. Namun, angka ini sempat turun akibat pandemi COVID-19 dan kembali meningkat menjadi sekitar 88.000 orang pada tahun fiskal 2023.
Pemerintah pusat sebenarnya sudah mulai membantu pemerintah daerah untuk mengurangi ketergantungan pada guru relawan sejak adanya undang-undang promosi pendidikan bahasa Jepang yang berlaku pada 2019. Namun, banyak pejabat daerah mengeluh proses pengajuan bantuan dana masih terlalu rumit.
Meskipun jumlah daerah yang sama sekali tidak memiliki kelas bahasa Jepang terus berkurang setiap tahunnya sejak 2019, setiap prefektur di Jepang — kecuali Hyogo di wilayah barat — masih memiliki setidaknya satu area tanpa kelas bahasa Jepang.
Sc : JT