Saat membicarakan hidangan musim panas Jepang, banyak yang mungkin membayangkan es serut (kakigori) atau mi dingin. Namun, di kota Kyoto, ada satu hidangan yang menjadi penanda musim panas yang elegan dan mewah: Hamo. Ikan belut pike ini dikenal karena teksturnya yang lembut dan rasanya yang halus, namun juga karena tantangan besar dalam pengolahannya. Hamo bukan sekadar hidangan, melainkan sebuah karya seni kuliner yang hanya bisa diwujudkan di tangan koki yang sangat terampil.
Hamo
Hamo adalah sejenis ikan belut pike (Muraenesox cinereus) yang berlimpah di perairan sekitar Kyoto, terutama selama musim panas. Ikan ini memiliki daging yang lezat dan lembut, tetapi juga memiliki ratusan tulang kecil yang sangat halus di seluruh tubuhnya. Jika tulang-tulang ini tidak dihilangkan atau diolah dengan benar, ikan Hamo akan sulit dan tidak enak dimakan.
Di sinilah keahlian koki menjadi sangat penting. Pengolahan Hamo membutuhkan teknik pemotongan yang disebut honekiri (骨切り), yang secara harfiah berarti “memotong tulang”. Koki menggunakan pisau khusus yang sangat tajam untuk memotong daging ikan dan tulang-tulang halus secara vertikal dalam interval kurang dari satu milimeter, tanpa memotong kulitnya. Proses ini dilakukan dengan cepat dan presisi tinggi, memungkinkan tulang-tulang halus tersebut hancur dan menjadi tidak terasa saat dimakan, sekaligus memberikan tekstur unik yang halus pada daging ikan.
Hamo dalam Masakan Kyoto: Elegan dan Serbaguna
Hamo adalah bahan pokok dalam masakan tradisional Kyoto, yang dikenal dengan nama Kyoto Ryori. Meskipun diolah dengan teknik yang rumit, hidangan Hamo sering disajikan dengan cara yang sederhana untuk menonjolkan kelezatan alami ikannya:
- Hamo Yubiki (Rebus): Ini adalah cara penyajian yang paling umum dan klasik. Potongan Hamo direbus dalam air panas selama beberapa detik hingga dagingnya melengkung indah seperti bunga. Hidangan ini disajikan dingin dengan saus ponzu (campuran cuka dan kecap asin) atau umeboshi (pasta plum asam), menawarkan tekstur lembut dan rasa yang sangat segar.
- Hamo no Tempura: Hamo juga sering digoreng sebagai tempura. Lapisan tepung yang renyah membungkus daging ikan yang lembut, menciptakan perpaduan tekstur yang luar biasa.
- Hamo no Nabe (Hot Pot): Di malam hari yang lebih sejuk, Hamo bisa dimasak dalam hot pot dengan sayuran, memberikan kuah yang kaya dan lezat dari tulang-tulang yang hancur.
- Hamo Kabayaki: Mirip dengan unagi, Hamo juga bisa dipanggang dengan saus manis gurih (tare), meskipun varian ini tidak sepopuler yubiki.
Simbolisme Hamo di Musim Panas
Hamo adalah simbol dari festival terbesar di Kyoto, Gion Matsuri, yang diadakan di bulan Juli. Karena Hamo dapat bertahan hidup di laut yang jauh dari pantai Kyoto, ia menjadi ikan yang dapat diandalkan untuk disajikan di festival, bahkan di cuaca panas sebelum adanya teknologi pendinginan.
Oleh karena itu, Hamo tidak hanya lezat, tetapi juga memiliki makna historis dan budaya yang kuat bagi penduduk Kyoto. Ini adalah hidangan yang mengikat tradisi, keahlian kuliner, dan perayaan musim panas dalam satu piring.
Hamo adalah bukti nyata bahwa kelezatan dalam kuliner Jepang seringkali terletak pada detail dan dedikasi. Dengan keahlian unik yang diwariskan dari generasi ke generasi, Hamo berubah dari ikan yang menantang menjadi hidangan musim panas yang elegan dan tak terlupakan, menawarkan pengalaman kuliner yang hanya bisa Anda temukan di Kyoto.