Krisis tenaga kerja di sektor otomotif Jepang semakin parah. Data terbaru pemerintah menunjukkan bahwa rasio lowongan kerja terhadap pencari kerja untuk mekanik dan teknisi otomotif mencapai 5,09 pada tahun fiskal 2024, jauh di atas rata-rata nasional yang hanya 1,14.
Artinya, terdapat 509 lowongan untuk setiap 100 pencari kerja di bidang ini — menandakan kekurangan tenaga kerja yang sangat serius.
Menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan, angka tersebut terus meningkat sejak 2020, saat pertama kali data tersebut dicatat. Kekurangan tenaga kerja ini menimbulkan kekhawatiran terhadap keselamatan kendaraan, karena banyak bengkel kesulitan menjaga standar inspeksi akibat beban kerja tinggi dan gaji yang relatif rendah.
Data dari Teikoku Databank menunjukkan 455 bisnis jasa otomotif tutup, bubar, atau bangkrut sepanjang tahun fiskal 2024 — jumlah tertinggi yang pernah tercatat. Beberapa perusahaan bahkan terpaksa menunda pengiriman kendaraan atau membatasi jumlah pesanan karena kekurangan mekanik.
Untuk mengatasi krisis ini, sejumlah perusahaan mulai melakukan langkah insentif. NTP Nagoya Toyopet Corp., misalnya, menawarkan bonus hingga 100.000 yen (sekitar Rp8,7 juta) bagi karyawan yang berhasil merekomendasikan teknisi baru. Sejak sistem ini dimulai pada 2022, mereka telah merekrut sembilan teknisi baru.
Sementara itu, Nal Net Communications, perusahaan penyedia layanan perawatan kendaraan sewa, membantu bengkel mitra melakukan digitalisasi sistem kerja agar lebih efisien dengan jumlah staf yang lebih sedikit.
Masalah kekurangan mekanik juga diperparah oleh penurunan minat generasi muda. Jumlah pendaftar lisensi mekanik pada 2024 hanya 35.504 orang, turun lebih dari 50% dibandingkan puncaknya pada 2004, menurut Asosiasi Promosi Layanan Otomotif Jepang.
Kasus manipulasi inspeksi kendaraan di beberapa dealer Toyota pada 2021 akibat kekurangan staf menjadi pengingat serius akan dampak nyata dari krisis tenaga kerja yang belum teratasi ini.
Sc : KN







