Jepang mencatat jumlah kebangkrutan tertinggi sejak 2013 dalam enam bulan hingga September, karena perusahaan semakin terdampak oleh kenaikan biaya.
Sebanyak 4.990 perusahaan bangkrut selama periode tersebut, meningkat 18,6% dibandingkan tahun sebelumnya, menurut laporan Teikoku Databank pada Selasa 8 Oktober 2024 lalu. Jumlah kebangkrutan di Jepang terus meningkat sejak paruh kedua tahun yang berakhir pada Maret 2022.
Rekor 163 perusahaan menyebut kekurangan tenaga kerja sebagai alasan kesulitan mereka. Tingkat pengangguran di Jepang tetap di bawah 3% selama lebih dari tiga tahun — terendah di antara negara maju.
Lonjakan kebangkrutan ini sebagian mencerminkan dampak kenaikan harga, terutama pada perusahaan kecil. Sebanyak 472 dari 4.990 perusahaan mencatat inflasi sebagai alasan utama kebangkrutan mereka, menurut laporan tersebut. Indikator harga utama di Jepang tetap berada di atau di atas target 2% Bank of Japan selama lebih dari dua tahun, karena lemahnya yen meningkatkan biaya impor dari makanan hingga energi.
Sektor konstruksi, manufaktur, dan ritel adalah yang paling banyak mengalami kebangkrutan akibat kenaikan biaya, menurut laporan itu.
Pasar tenaga kerja yang ketat memaksa perusahaan untuk menaikkan gaji demi mempertahankan karyawan, yang semakin membebani anggaran mereka. Meskipun beberapa perusahaan Jepang berhasil menawarkan kenaikan gaji lebih dari 5% dalam negosiasi awal tahun ini, banyak perusahaan kecil dan menengah kesulitan untuk melakukan hal yang sama.
Risiko lain yang mungkin dihadapi perusahaan adalah biaya pembayaran utang yang lebih tinggi setelah kenaikan suku bunga oleh Bank of Japan pada bulan Maret dan Juli. Beberapa bank besar dan regional telah mengumumkan kenaikan suku bunga pinjaman jangka pendek tertentu.