Jepang adalah negara yang kaya akan tradisi dan budaya, serta memiliki bahasa yang penuh dengan ungkapan dan peribahasa yang mencerminkan cara pandang hidup mereka. Peribahasa, atau dalam bahasa Jepang disebut kotowaza (諺), sering kali digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk menyampaikan nasihat, kebijaksanaan, atau bahkan sindiran dengan cara yang halus. Berikut beberapa peribahasa unik yang tidak hanya berkesan tetapi juga memiliki makna yang dalam tentang nilai-nilai hidup orang Jepang.
1. 石の上にも三年 (Ishi no ue ni mo san-nen) – “Bahkan di atas batu pun, tiga tahun”
Peribahasa ini mengajarkan pentingnya kesabaran dan ketekunan. Ishi no ue ni mo san-nen secara harfiah berarti “Bahkan di atas batu pun, tiga tahun.” Maksudnya, bahkan sesuatu yang sulit atau tidak nyaman, jika dihadapi dengan kesabaran dalam waktu yang cukup lama, akan menjadi lebih baik atau lebih mudah dijalani. Ini mencerminkan nilai budaya Jepang yang sangat menghargai ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup.
2. 七転び八起き (Nanakorobi yaoki) – “Tujuh kali jatuh, delapan kali bangkit”
Peribahasa ini menunjukkan semangat pantang menyerah yang mendalam. Nanakorobi yaoki berarti “Jatuh tujuh kali, bangkit delapan kali.” Artinya, berapa kali pun kita menghadapi kegagalan, kita harus selalu berusaha bangkit dan terus maju. Ungkapan ini menjadi simbol daya tahan dan ketangguhan dalam menghadapi berbagai tantangan, sesuatu yang sangat dihargai dalam budaya Jepang.
3. 口は災いの元 (Kuchi wa wazawai no moto) – “Mulut adalah sumber bencana”
Makna dari peribahasa ini adalah berhati-hati dengan kata-kata yang kita ucapkan, karena kata-kata yang salah dapat membawa masalah. Dalam budaya Jepang, menjaga harmoni dalam hubungan antar manusia sangat penting, sehingga berbicara dengan hati-hati adalah salah satu prinsip utama yang dipegang teguh.
4. 猿も木から落ちる (Saru mo ki kara ochiru) – “Bahkan monyet pun jatuh dari pohon”
Ungkapan ini menggambarkan bahwa bahkan seorang ahli pun bisa membuat kesalahan. Saru mo ki kara ochiru memberikan pelajaran penting untuk tetap rendah hati, karena seberapa pun terampil atau ahli seseorang, selalu ada kemungkinan membuat kesalahan. Ini juga menunjukkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses belajar yang harus diterima.
5. 灯台下暗し (Tōdai moto kurashi) – “Gelap di bawah mercusuar”
Secara harfiah berarti “Gelap di bawah mercusuar,” ungkapan ini berarti bahwa kita sering kali tidak menyadari hal-hal yang paling dekat dengan kita. Peribahasa ini mengajarkan kita untuk tidak mengabaikan apa yang ada di sekitar, karena kita bisa saja melewatkan hal-hal penting di dekat kita.
6. 二兎を追う者は一兎をも得ず (Nito o ou mono wa itto o mo ezu) – “Mengejar dua kelinci, tak akan mendapatkan satu pun”
Peribahasa ini menekankan pentingnya fokus pada satu tujuan saja daripada mencoba melakukan banyak hal sekaligus. Nito o ou mono wa itto o mo ezu mengingatkan bahwa dengan mencoba menangkap terlalu banyak hal, kita mungkin tidak akan berhasil mendapatkan apa pun. Ini menunjukkan nilai budaya Jepang yang menghargai dedikasi penuh pada satu hal dalam satu waktu.
7. 海千山千 (Umisen-yamasen) – “Seribu lautan, seribu gunung”
Peribahasa ini merujuk pada seseorang yang telah melewati banyak pengalaman hidup dan memiliki kebijaksanaan yang mendalam. Orang yang digambarkan dengan ungkapan ini biasanya memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai situasi karena telah “melewati seribu laut dan seribu gunung.” Ini menunjukkan penghargaan pada pengalaman hidup yang memperkaya seseorang.
8. 見ぬが花 (Minu ga hana) – “Tidak melihatnya adalah bunga”
Ungkapan ini memiliki makna bahwa sesuatu lebih indah jika hanya dibayangkan daripada dilihat dalam kenyataan. Minu ga hana sering kali digunakan untuk menyiratkan bahwa idealisasi atau harapan terhadap sesuatu bisa lebih memuaskan daripada kenyataan. Ini adalah contoh cara pandang yang lembut dan penuh filosofi dalam melihat dunia.
9. 鳥なき里の蝙蝠 (Tori naki sato no kōmori) – “Kelelawar di desa tanpa burung”
Peribahasa ini berarti bahwa bahkan seseorang dengan keterampilan atau kemampuan yang biasa saja bisa menjadi menonjol jika tidak ada persaingan. Dalam konteks ini, kelelawar menjadi simbol seseorang yang mungkin bukan yang terbaik, tetapi bisa menjadi terlihat istimewa di lingkungan yang kekurangan orang berbakat.
10. 雨降って地固まる (Ame futte ji katamaru) – “Setelah hujan, tanah menjadi kokoh”
Peribahasa ini mengandung makna bahwa setelah melalui masa sulit atau konflik, seseorang atau kelompok dapat menjadi lebih kuat. Dalam kehidupan, cobaan atau konflik yang dilalui bersama sering kali dapat mempererat hubungan, dan itulah yang disampaikan oleh ungkapan ini.
Peribahasa-peribahasa unik ini memperlihatkan betapa dalamnya filosofi hidup masyarakat Jepang yang tercermin dalam bahasa sehari-hari mereka. Dari ketekunan hingga pentingnya pengalaman dan kebijaksanaan, semua ini menggambarkan pandangan hidup yang tidak hanya menghargai kesuksesan tetapi juga perjalanan dan pelajaran di sepanjang jalan. Memahami peribahasa ini bisa membantu kita melihat cara orang Jepang menghadapi hidup dan belajar dari kebijaksanaan mereka yang telah diwariskan turun-temurun.