Seorang perempuan asal Kamboja berusia 23 tahun, yang bekerja sebagai magang teknis di sebuah perkebunan stroberi di Prefektur Tochigi, Jepang, berencana mengajukan gugatan ganti rugi terhadap manajernya. Ia menuduh manajer tersebut melakukan pelecehan seksual berulang kali hingga menyebabkan kehamilan dan aborsi, menurut pengacaranya pada Senin.
Perempuan tersebut mengklaim telah dilecehkan secara seksual hampir setiap hari oleh manajer pria berusia 58 tahun sejak beberapa bulan setelah ia mulai bekerja di perkebunan pada Juli 2022 hingga April 2023.
Manajer melalui pengacaranya pada November 2023 membantah tuduhan tersebut. Namun, ia tidak memberikan komentar lebih lanjut terkait rencana gugatan tersebut.
Perempuan itu mengatakan ia dipaksa menjalani aborsi pada Januari 2023 tanpa penjelasan yang memadai dalam bahasa ibunya. Pelecehan seksual diduga terus berlanjut meski setelah aborsi dilakukan.
Karena terbebani utang untuk masuk ke Jepang, yang merupakan situasi umum bagi pekerja magang teknis, perempuan tersebut merasa tidak bisa menolak, terutama karena manajer mengancam akan memulangkannya ke Kamboja.
“Saya tidak punya pilihan selain menuruti dia karena saya takut kehilangan pekerjaan,” ungkapnya melalui penerjemah kepada Kyodo News.
Program magang teknis Jepang, yang diperkenalkan pada 1993 untuk mentransfer keterampilan ke negara berkembang, telah lama dikritik sebagai cara untuk mendapatkan tenaga kerja murah. Banyak magang melarikan diri karena perlakuan yang tidak adil, termasuk gaji yang tidak dibayar dan pelecehan.
Pemerintah Jepang memutuskan pada Juni tahun ini untuk menggantikan program tersebut dengan sistem baru yang menawarkan fleksibilitas lebih besar dalam perubahan tempat kerja.
Perempuan itu mencari bantuan dari serikat pekerja di Prefektur Gifu yang mendukung pekerja magang teknis dan mendapat perlindungan pada April 2023.
Ia melaporkan kasus tersebut ke polisi Prefektur Tochigi pada 2023 atas dugaan pemerkosaan. Kasus ini dirujuk ke jaksa pada Desember tahun itu, tetapi polisi merekomendasikan untuk tidak melakukan penuntutan karena dianggap kurang bukti.
Setelah didiagnosis dengan gangguan stres pascatrauma (PTSD) pada Juni tahun ini, ia memutuskan untuk membawa kasus ini ke pengadilan perdata. Ia menuntut kompensasi sebesar beberapa puluh juta yen atas pelecehan seksual, aborsi, dan PTSD yang dialaminya.
Dua perempuan Kamboja lainnya yang bekerja di perkebunan stroberi yang sama pada periode tersebut juga berencana menggugat manajer yang sama, mengklaim mereka dilecehkan secara fisik.
Sc : mainichi