Perdana Menteri Shigeru Ishiba menyatakan bahwa pengakuan terhadap pernikahan sesama jenis dapat membawa kebahagiaan dan manfaat bagi masyarakat. Namun, ia belum menunjukkan komitmen untuk mengubah undang-undang terkait.
Berbicara dalam Komite Anggaran Majelis Tinggi pada 17 Desember, Ishiba mengungkapkan, “Secara pribadi, saya pikir ini akan membuat bangsa lebih bahagia,” seraya menambahkan bahwa pertemuannya dengan individu yang terdampak hukum saat ini telah memperdalam pemahamannya tentang pentingnya hubungan mereka.
Konteks Hukum dan Perdebatan Publik
Pernyataan Ishiba muncul sebagai tanggapan atas pertanyaan Ryuhei Kawada, seorang anggota oposisi, setelah Pengadilan Tinggi Fukuoka pada 13 Desember memutuskan bahwa kegagalan Jepang mengakui pernikahan sesama jenis melanggar konstitusi berdasarkan Pasal 13, yang menjamin hak untuk mengejar kebahagiaan.
Keputusan ini menjadi putusan pengadilan tinggi ketiga yang menyoroti isu tersebut, tetapi yang pertama yang secara spesifik mengacu pada Pasal 13. Hal ini semakin memperkuat desakan untuk reformasi hukum.
Jepang Niat Kasih Bantuan untuk Warga Gaza yang Terdampak Konflik
Meskipun Ishiba menunjukkan empati, partai konservatif yang ia pimpin, Partai Demokrat Liberal (LDP), masih menolak pembahasan di parlemen mengenai legalisasi pernikahan sesama jenis. Ishiba mencatat kompleksitas isu ini dengan mengatakan, “Ini sangat terkait dengan nilai-nilai keluarga. Kita perlu memperhatikan perkembangan gugatan yang relevan.”
LDP selama ini mengutamakan struktur keluarga tradisional, sehingga perdebatan mengenai pernikahan sesama jenis menghadapi penolakan dari sebagian kelompok di dalam partai.
Posisi Jepang di Kancah Internasional
Jepang tetap menjadi satu-satunya negara di kelompok G7 yang belum melegalkan pernikahan sesama jenis, sehingga menuai kritik karena tertinggal dari negara-negara demokrasi maju lainnya. Para pendukung menilai pengakuan terhadap pernikahan sesama jenis tidak hanya akan menjunjung hak-hak konstitusional, tetapi juga mencerminkan komitmen Jepang terhadap inklusivitas dan kesetaraan di panggung global.
Meskipun pernyataan Ishiba mencerminkan perubahan sikap, keraguannya untuk memulai tindakan legislatif menunjukkan tantangan besar yang masih harus dihadapi. Fokus pada putusan pengadilan dan diskusi publik akan memainkan peran penting dalam menentukan masa depan kesetaraan pernikahan di Jepang.
Sc : asahi