Gambar dan video deepfake seksual yang dibuat dengan menyalahgunakan kecerdasan buatan generatif (AI generatif) dan menargetkan anak-anak serta perempuan semakin menyebar luas di Jepang.
Dalam beberapa kasus, gambar telanjang palsu dari individu dibuat tanpa sepengetahuan mereka, lalu disebarkan di internet beserta nama asli, alamat, dan nama sekolah. Harian Mainichi Shimbun menelusuri kerusakan nyata yang ditimbulkan oleh AI generatif, yang tak hanya menyebabkan anak-anak menjadi korban, tetapi juga memungkinkan mereka menjadi pelaku.
Sumire Nagamori, kepala organisasi relawan Hiiragi Net, yang memantau internet dan melaporkan konten ke operator platform serta kepolisian, menatap layar komputernya dengan ekspresi muram. Ia tengah meneliti volume luar biasa besar gambar dan video palsu seksual yang diunggah ke media sosial. Termasuk di antaranya adalah foto kelompok sekolah yang diedit sehingga siswi-siswinya tampak telanjang, serta foto buku tahunan yang bagian tubuh di bawah wajah telah dimodifikasi secara seksual.
Banyak sekolah di Jepang menggunakan sistem di mana fotografer profesional mengunggah foto acara sekolah ke situs khusus, agar keluarga dapat memilih dan membeli foto yang mereka inginkan. Tampaknya foto-foto ini telah bocor dan disalahgunakan di internet. Bahkan ada percakapan online seperti, “Ayo tukar ID dan password login situs penjualan foto sekolah.”
Dulu, membuat gambar palsu seksual seperti “idol collages” (dikenal sebagai “aikora”) — yaitu mencampur wajah seseorang dengan konten porno — memerlukan pengetahuan dan keterampilan teknis tertentu. Namun sekarang, dengan hadirnya aplikasi dan situs AI generatif, pengguna hanya perlu mengunggah satu gambar dan dalam hitungan detik bisa membuat deepfake. Hambatan teknis yang rendah ini menjadi faktor utama cepatnya penyebaran dan kerusakan.
Organisasi nirlaba yang berbasis di Tokyo, PAPS (Organization for Pornography and Sexual Exploitation Survivors), yang mendukung korban kekerasan seksual digital, mulai secara aktif mengajak korban deepfake porno untuk mencari bantuan sejak sekitar enam bulan lalu. Salah satu korban tidak bisa lagi masuk sekolah setelah gambar palsu dirinya tersebar online, disertai nama sekolahnya, karena takut bahwa “mungkin saja ada orang asing yang menunggu di depan sekolah.” Ketua PAPS, Kazuna Kanajiri, menyatakan, “Ketakutan yang dirasakan korban sangat besar, tak terukur,” dan mendesak siapa pun yang terdampak untuk segera mencari dukungan.
Sc : mainichi