Pada pagi Februari yang membeku di Kiryu, Prefektur Gunma, Jepang, seorang wanita Filipina ditangkap aparat kepolisian dan Imigrasi Jepang setelah kedapatan keluar dari apartemennya membawa kantong sampah. Penangkapan ini terjadi atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Pengendalian Imigrasi dan Pengakuan Pengungsi, karena wanita tersebut mengakui telah overstay — tinggal di Jepang melebihi masa berlaku visa.
Pada hari yang sama, tiga warga Filipina lainnya juga ditahan dalam operasi gabungan. Semuanya memasuki Jepang sebagai pengunjung jangka pendek atau magang teknis, namun tetap tinggal setelah visa mereka berakhir. Tidak ada tuduhan kejahatan lain yang dikenakan selain pelanggaran masa tinggal.
Di Jepang, dalam kasus overstay tanpa tindak kriminal lain, biasanya dilakukan penangkapan tanpa surat perintah, diikuti dengan pemeriksaan, penahanan, dan deportasi. Berdasarkan data Kementerian Kehakiman, tahun 2024, lebih dari 18.900 warga asing dideportasi karena pelanggaran hukum imigrasi, dengan 90% di antaranya karena overstay.
Namun, tindakan keras ini menimbulkan pertanyaan: Apakah tepat memperlakukan pelanggaran administratif ini layaknya kejahatan kriminal?
Di Prefektur Gunma, yang secara nasional mencatat rasio tertinggi untuk “kejahatan orang asing” selama beberapa tahun terakhir, setengah dari kasus melibatkan orang tanpa izin tinggal yang sah, sebagian besar bekerja di sektor buruh dan pertanian.
Sementara itu, organisasi keagamaan dan kemanusiaan, seperti Kuil Daionji di Honjo, Saitama, terus membantu para migran yang mengalami kesulitan, termasuk korban PHK selama pandemi COVID-19. Biksuni Thich Tam Tri menegaskan, tidak semua yang overstay adalah “kriminal,” banyak dari mereka terpaksa bertahan karena keadaan sulit.
Secara internasional, terminologi untuk menggambarkan imigran tanpa status sah telah bergeser dari kata “ilegal” ke istilah lebih netral seperti “irregular” atau “undocumented”, untuk menghindari stigma. Namun, Jepang lambat dalam mengikuti perubahan ini, meskipun ada kampanye dari organisasi seperti Solidarity Network with Migrants Japan yang menyerukan penggunaan istilah yang lebih manusiawi.
Menurut Sachi Takaya, dosen sosiologi Universitas Tokyo:
“Kata ‘ilegal’ memberi kesan negatif dan memperkuat prasangka serta diskriminasi terhadap imigran dan pengungsi.”
Kasus di Gunma ini memperlihatkan ketegangan antara penegakan hukum dan hak asasi manusia, serta mendorong diskusi lebih luas tentang perlakuan terhadap imigran di Jepang.
Sc : mainichi