Dalam tradisi Shinto, agama asli Jepang, alam bukanlah sesuatu yang terpisah dari manusia — melainkan tempat bersemayamnya para dewa (kami). Gunung, sungai, batu, bahkan pohon bisa menjadi objek pemujaan karena dianggap memiliki roh suci di dalamnya. Di antara banyak pohon yang dihormati, sakaki (榊) menempati posisi istimewa sebagai pohon suci yang melambangkan batas antara dunia manusia dan dunia para dewa.
🌿 Apa Itu Pohon Sakaki?
Sakaki adalah pohon hijau abadi dari keluarga teh (Theaceae), dengan daun mengilap berwarna hijau tua dan aroma lembut. Pohon ini tumbuh alami di daerah hangat Jepang, terutama di Honshu bagian selatan, Shikoku, dan Kyushu.
Dalam bahasa Jepang, kanji “榊” sendiri unik — tidak berasal dari huruf Cina, tetapi merupakan kanji asli Jepang (kokuji). Huruf ini terdiri dari dua bagian: ki (木, “pohon”) dan kami (神, “dewa”), secara harfiah berarti “pohon para dewa”. Dari namanya saja, kita sudah bisa melihat betapa pentingnya peran sakaki dalam spiritualitas Jepang.
⛩️ Sakaki dalam Ritual Shinto
Dalam kuil Shinto (jinja), sakaki hampir selalu hadir sebagai bagian dari ritual persembahan. Daunnya digunakan dalam berbagai upacara, seperti:
-
Tamagushi (玉串) — ranting sakaki yang dihiasi kertas putih (shide) dan dipersembahkan kepada para dewa. Umat biasanya menyerahkan tamagushi sambil menunduk sebagai bentuk rasa hormat dan doa.
-
Shimenawa (注連縄) — tali jerami suci yang sering dihiasi daun sakaki, menandai area yang dianggap suci dan tidak boleh dilewati sembarangan.
-
Himorogi (神籬) — altar sederhana yang terbuat dari ranting sakaki yang dipasang sementara di luar kuil untuk memanggil kami turun dari langit saat upacara.
Dengan kata lain, sakaki berfungsi sebagai “jembatan spiritual” antara manusia dan dunia ilahi.
🔱 Larangan Memotong Sembarangan
Karena statusnya sebagai pohon suci, sakaki tidak boleh dipotong atau ditebang sembarangan.
Bahkan di masa modern sekalipun, penebangan sakaki dilakukan dengan ritual khusus, biasanya oleh pendeta Shinto yang meminta izin kepada kami terlebih dahulu.
Memotong sakaki tanpa izin dianggap tidak sopan terhadap roh yang bersemayam di dalamnya, dan diyakini dapat membawa kesialan atau bencana. Oleh sebab itu, masyarakat Jepang selalu memperlakukan pohon ini dengan penuh rasa hormat — tidak hanya sebagai tumbuhan, tapi sebagai entitas spiritual yang hidup.
🌸 Simbolisme dan Makna Filosofis
Sakaki melambangkan kemurnian, keabadian, dan hubungan manusia dengan alam. Karena daunnya tidak gugur sepanjang tahun, pohon ini juga sering diartikan sebagai simbol keteguhan hati dan kesetiaan kepada para dewa.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang Jepang menempatkan ranting sakaki di altar rumah (kamidana) sebagai lambang doa dan perlindungan. Dengan begitu, kehadiran para dewa dipercaya selalu menyertai rumah tersebut.
🌱 Sakaki di Era Modern
Meskipun Jepang kini sangat modern, nilai spiritual terhadap sakaki tetap lestari. Di berbagai festival dan perayaan Shinto, daun sakaki masih digunakan, sementara banyak keluarga tetap menjaga rantingnya di rumah sebagai simbol kami pelindung.
Di tengah dunia yang semakin sibuk, penghormatan terhadap pohon sakaki menjadi pengingat bahwa manusia dan alam harus hidup berdampingan dengan rasa hormat dan keseimbangan.
Bagi orang Jepang, sakaki bukan sekadar tanaman hijau — ia adalah pohon yang menyatukan dunia manusia dan dunia para dewa.
Melalui dedaunan yang tetap hijau sepanjang tahun, sakaki mengajarkan nilai kemurnian, kesetiaan, dan kesadaran akan kekuatan spiritual alam.










