Sekolah Dasar Shibafuji di Kawaguchi, Prefektur Saitama, Jepang, menghadapi tantangan unik karena lebih dari 40% siswanya adalah anak-anak asing. Untuk membantu mereka beradaptasi, sekolah ini menyelenggarakan program bahasa Jepang intensif, khususnya bagi siswa yang baru tiba dan belum bisa berbahasa Jepang.
Salah satu program andalannya adalah “kursus bertahan hidup” bahasa Jepang, yang berlangsung selama 20 hari dengan empat jam pelajaran setiap hari. Program ini fokus pada frasa-frasa penting yang dibutuhkan di sekolah, seperti “Silakan duduk” atau “Di mana gymnasium?” Setelah menyelesaikan kursus ini, siswa tetap mendapatkan pendampingan melalui “kursus dasar” selama satu hingga lima jam per minggu, tergantung kebutuhan.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Siswa asing, terutama yang masih kecil, sering kesulitan mengikuti pelajaran reguler karena perbedaan metode belajar. Misalnya, matematika dan menulis di Jepang diajarkan dengan cara yang unik, seperti menghafal tabel perkalian atau menulis huruf kanji. Untuk mengatasi hal ini, sekolah menyediakan staf pendukung yang bisa berbahasa China untuk membantu siswa asing memahami pelajaran.
Kepala Sekolah Tomomi Kato menekankan bahwa sekolah tidak membeda-bedakan siswa berdasarkan kebangsaan. “Kami memperlakukan setiap anak sebagai individu,” katanya. Namun, ia mengakui bahwa upaya ini memberikan beban tambahan bagi guru dan staf.
Tantangan semakin besar karena jumlah siswa asing terus meningkat. Pada Oktober 2024, dewan pendidikan setempat memprediksi bahwa lebih dari 60% siswa kelas satu tahun ajaran 2025 adalah warga asing. Bahkan, angkanya bisa mencapai hampir 70% karena banyak keluarga Jepang memilih sekolah swasta.
Meski demikian, Kato dan timnya berkomitmen untuk terus membantu siswa asing beradaptasi. “Kami akan terus melakukan yang terbaik,” ujarnya.
Sc : mainichi