Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, mengumumkan pada Jumat (26/1) bahwa pemerintah Jepang akan menyusun rencana dasar untuk mendukung pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dengan memperhatikan masalah keamanan. Langkah ini diambil menyusul kemunculan chatbot dari startup China, DeepSeek, yang menimbulkan kekhawatiran terkait keamanan dan disinformasi.
Ishiba menyatakan bahwa penggunaan AI sangat penting untuk mengatasi berbagai masalah di Jepang, seperti produktivitas yang rendah. Namun, ia juga mengakui bahwa penyebaran informasi yang salah (misinformation) dan disinformasi merupakan risiko yang muncul dari penggunaan teknologi ini.
“Kita perlu membuat rencana dasar tentang bagaimana kita dapat mempromosikan penelitian, pengembangan, serta penggunaan AI dengan cara yang aman dan terjamin,” kata Ishiba dalam sidang Komite Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat.
Pernyataan ini muncul setelah chatbot dari DeepSeek, perusahaan China, mengejutkan pengguna dan pengembang AI serta mengguncang pasar keuangan. Model AI DeepSeek diklaim dikembangkan dengan biaya yang jauh lebih rendah dibandingkan pesaing AS seperti OpenAI, namun memiliki performa yang setara dengan ChatGPT.
Ishiba menekankan, “Ketika informasi tertentu digunakan untuk melatih AI secara sembarangan atau sengaja, informasi itu akan menyebar secara global dengan kecepatan yang mengejutkan.” Ia merespons kekhawatiran anggota parlemen dari partai berkuasa mengenai model AI baru DeepSeek.
Itsunori Onodera, mantan Menteri Pertahanan Jepang, mengungkapkan bahwa chatbot DeepSeek memberikan respons yang mengklaim Kepulauan Senkaku di Laut China Timur sebagai wilayah kedaulatan China berdasarkan sejarah dan hukum internasional. Kepulauan tak berpenghuni ini dikelola oleh Jepang, yang juga menganggapnya sebagai wilayah kedaulatannya berdasarkan sejarah dan hukum internasional. Namun, China juga mengklaim kepulauan tersebut.
Popularitas chatbot DeepSeek melonjak secara instan, tetapi semakin banyak pemerintah dan perusahaan yang membatasi akses ke platform tersebut karena kekhawatiran terkait pengumpulan data pengguna. Meskipun pemerintah Jepang belum mengumumkan langkah serupa, mereka sedang mempersiapkan undang-undang terkait pengembangan dan penggunaan AI untuk diajukan ke parlemen dalam sesi saat ini, yang berlangsung hingga 22 Juni.
“Tantangan mendesak kami adalah mengajukan undang-undang yang dapat memaksimalkan manfaat AI sekaligus meminimalkan bahaya dan risiko yang terkait dengan penggunaannya,” tegas Ishiba.
Dengan rencana ini, Jepang berupaya menyeimbangkan inovasi teknologi AI dengan perlindungan keamanan dan etika, terutama dalam menghadapi tantangan global yang muncul dari perkembangan AI seperti DeepSeek.
Sc : kyodo