Bagi wanita asing yang pindah ke Jepang untuk bekerja sebagai magang teknis, mengambil cuti melahirkan jarang menjadi opsi realistis. Kehamilan sering kali berarti pemutusan kontrak kerja atau bahkan dipulangkan secara paksa ke negara asal.
Jiho Yoshimizu, direktur asosiasi persahabatan yang mendukung penduduk Vietnam di Jepang, baru-baru ini menerbitkan buku pertamanya berjudul “If You Get Pregnant, Sayonara” (Jika Anda Hamil, Selamat Tinggal). Buku ini mengungkap kenyataan pahit tentang “pelecehan kehamilan” di mana para magang teknis dipaksa keluar dari pekerjaan mereka.
Yoshimizu berpendapat bahwa selama ini, prioritas perusahaan yang mempekerjakan para pekerja ini telah lebih diutamakan, meskipun Jepang sedang menghadapi krisis kekurangan tenaga kerja yang parah. “Masyarakat perlu mengubah pola pikir mereka,” tulisnya dalam buku tersebut.
Kehamilan Dianggap “Penyakit”
Beberapa magang teknis melaporkan bahwa perusahaan menolak mempekerjakan mereka karena mereka hamil. Dalam kasus ekstrem, seorang wanita mengatakan bahwa majikannya menyamakan kehamilannya dengan sebuah “penyakit,” meskipun sakit bukanlah alasan yang sah untuk pemecatan.
Pekerja asing yang memegang visa pelatihan teknis atau keterampilan khusus menopang industri pertanian dan manufaktur Jepang, yang paling terdampak oleh kekurangan tenaga kerja. Namun, kesaksian mereka menunjukkan betapa mudahnya mereka dianggap tidak berguna begitu mereka hamil.
Hambatan Hukum dan Realita
Secara hukum, pelecehan terhadap wanita hamil dilarang berdasarkan Undang-Undang Kesetaraan Kesempatan Kerja Jepang. Penduduk asing juga berhak atas tunjangan melahirkan, cuti sebelum dan sesudah melahirkan, seperti halnya wanita Jepang.
Namun, kenyataannya, banyak pengusaha enggan mengisi posisi sementara yang kosong karena cuti melahirkan. Akibatnya, mereka lebih sering memaksa pekerja asing untuk mengundurkan diri agar dapat digantikan secara permanen.
Lebih parah lagi, banyak wanita asing yang tidak mengetahui hak-hak mereka atau kesulitan mengakses layanan dukungan pemerintah karena kendala bahasa. Untuk mengatasi masalah ini, kelompok Yoshimizu membentuk serikat pekerja di bawah cabang Rengo Tokyo pada tahun 2022.
Upaya Perlindungan
Dengan bantuan serikat ini, 153 wanita hamil dan ibu dari anak kecil berhasil didukung antara tahun fiskal 2020 hingga 2023. Sebagian besar dapat mengambil cuti melahirkan atau cuti mengasuh anak dan melanjutkan pekerjaan mereka di Jepang.
Namun, beberapa kasus berakhir tragis. Beberapa ibu melahirkan tanpa dukungan, bahkan ada yang meninggalkan bayi mereka. Dalam satu kasus, seorang ibu meninggal dunia.
Menurut sebuah studi pada tahun 2023 yang dilakukan oleh kelompok Yoshimizu bersama Kyodo News, agen yang merekrut magang asing untuk perusahaan Jepang terkadang menyarankan para wanita untuk menggunakan kontrasepsi demi mencegah kehamilan.
Masa Depan Program Magang
Pemerintah Jepang berencana mengganti program magang teknis dengan sistem baru pada tahun 2027 untuk menjamin pekerja asing diperlakukan dengan lebih baik. Namun, Yoshimizu memperingatkan bahwa masalah yang sama akan terus berulang jika semua pihak yang terlibat tidak bekerja sama untuk memberikan dukungan yang tepat.
Ia juga menekankan pentingnya kesadaran perusahaan terhadap tanggung jawab mereka, termasuk menciptakan sistem yang memungkinkan adanya kekosongan sementara akibat cuti melahirkan.
“Kami bekerja keras setiap hari untuk memberikan dukungan,” ujar Yoshimizu. Ia berharap langkah-langkah efektif untuk melindungi hak asasi manusia dapat segera diterapkan.
Sc ; JT